Sabtu, 31 Juli 2010

Rekening Gendut Perwira Polri; polemik metafora Polri-Tempo

Beberapa hari terakhir, setelah majalah Tempo mengeluarkan edisinya (28 Juni – 4 Juli), kontroversi penafsiran kalimat metaforis “Rekening gendut perwira Polri” menyeruak menghiasi halaman muka media massa tanah air. Situasinya semakin panas setelah Mabes Polri bersikap reaksional terhadap kalimat yang diperkuat dengan visualisasi karikatur seorang perwira polisi menggembala celengan babi itu. Korps baju cokelat itu tidak terima karena merasa institusinya dihina dan dilecehkan. Mebes Polri menganggap pihak majalah Tempo tidak memiliki itikad pemberitaan yang baik tentang kepolisian terkait pemberitaan dua edisi sebelumnya. Sehingga, kali ini mabes Polri memandang perlu memperkarakan majalah yang redaksinya di bawah pimpinan Wahyu Muryadi itu.
Sebagaimana diakui Kadiv Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Edward Aritonang, pihak mabes diwakili Divisi Pembinaan dan Hukum telah memperkarakan ajalah Tempo ke Bareskrim Polri dengan tuduhan menghina institusi Polri sebagaiman diatur dalam KUHP pasal 207 dan 208 (Kompas, 30 Juni 2010). Bahkan, tidak tanggung-tanggung Wakadiv Humas Mabes Polri, Bigjen Zainuri Lubis, menegaskan bahwa Polri menggugat majalah itu secara pidana sekaligus perdata. Anggota Polri dan keluarganya kecewa dan terhina atas pemberitaan itu (Jawa Pos, 1 Juli 2010).
Terlepas dari apakah keberadaan celengan (babi) gendut itu benar atau tidak, bila dicermati seksama dari kaca mata ilmiah, tampaknya struktur dan style majalah Tempo memverbalisasikan berita menjadi faktor penyebab naiknya suhu perseteruan Polri dengan majalah itu. Penulis mencermati bahwa Tempo menggunakan bahasa yang memiliki fleksibilitas pemaknaan tinggi dalam masyarakat bahasa dan dunia sastra. Sementara, pihak Polri memaknainya – entah disengaja atau tidak – dari sisi semantik formal. Penuturan pesan secana analogi langsung (direct analogy) dengan menggunakan simbol maupun idiom, sebagaimana yang digunakan Tempo, dalam ilmu Stilistika dikenal dengan istilah metafora.
Penggunaan konstruksi kalimat metaforis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat bahasa sebenarnya merupakan hal yang wajar. Bahkan, dipandang efektif digunakan dalam situasi tertentu untuk menghasilkan efek tertentu pula. Hanya, pengguna kontruksi kalimat seperti itu dihadapkan pada pertanyaan (1) Tepatkah situasinya? (2) Dapatkah penanggap tutur menerima kemungkinan efek semantis yang ditimbulkannya? Dan, (3) mampukan penanggap tutur menangkap makna lugas di balik makna kias, sebagaimana makna yang dimaksudkan oleh penuturnya? Karena, tanpa memiliki kompetensi linguistik serta kompetensi sosiokultural linguistik memadahi, penanggap tutur akan kesulitan memaknainya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan pemaknaannya justru salah alamat. Ini sangat dimungkinkan karena konstruksi kalimat metaforis kaya dengan displacing (penggantian arti), distorting (penyimpangan arti). Sebuah pesan disampaikan dengan transfer konsep antara dua kata yang dibandingkan sehingga terkesan timbul penyimpangan arti. Penanggap tutur harus memeras otak untuk merekonstruksi pesan apa sebenarnya yang dimaksudkan penutur.
Untuk itu, penulis tergerak mengupas kasus rekening (babi) gendut Perwira Polri itu dari sudut Stilistika, khususnya metafora. Masyarakat perlu tahu bagaimana seharusnya memaknai ungkapan aneh-aneh yang belakangan banyak muncul dalam dunia politik dan hukum kita. Tulisan sederhana ini akan berguna bagi siapa saja yang mengikuti perkembangan kasus ini. Banyak kasus politik dan hukum di negeri ini duduk perkaranya menjadi simpang siur dan tidak proporsiaonal hanya karena permainan dan pemutarbalikan makna kata-kata. Oleh karena itu, sebelum mengupas bagaimana harus merekonstruksi makna lugas di balik makna kias rekening (babi) gendut itu dan pesan apa yang sebenarnya dimaksudkan penutur, kita cermati dahulu sekilas tinjauan teoretis berikut.

Apa dan Bagaimana Metafora Itu?

Metafora merupakan salah satu figurative language yang dipelajari dalam stilistika. John I. Saeed (2005:345-346) menegaskan bahwa dalam metafora merupakan bentuk analogi langsung (direct analogy). Di dalamnya terdapat pemindahan konsep (concept transference) antara dua hal yang dianalogikan. Pemindahan konsep dari objek yang satu pada objek yang lainnya. Kedua objek itu merupakan hal-hal yang memiliki kemiripan identifikasi sekalipun pada prinsipnya berbeda. Objek yang dibandingkan disebutnya sebagai domain target (target domain) sedangkan objek pembandingnya sebagai domain sumber (source domain). Kedua domain ini merupakan komponen pembangun konstruksi kalimat metaforis. Melalui pemindahan konsep tadi, kondisi-kondisi yang berlaku pada domain sumber dipakai penutur untuk mendeskripsikan kondisi-kondisi yang terjadi pada domain target.
Pemindahan konsep (pengiasan) ini hanya dapat dilakukan oleh penutur-penutur bahasa yang kreatif, bukan penutur kebanyakan. Bagi mereka, seperti halnya yang dikatakan George Lakoff dan Mark Johnson (1980) dalam Metaphors We Live By, metafora bukanlah sekedar alat imajinasi puitik dan hiasan retorik semata, tetapi meresap dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar ada dalam bahasa, namun menyatu dalam pikiran dan tindakan. Melalui metafora yang digunakan, seseorang dapat diketahui pikiran dan perbuatannya. Metafora mencerminkan siapa dan bagaimana pemakainya.
Makna metafora, menurut Wahab (2006:65-67), dapat direkonstruksi melalui predikasi-predikasi yang dapat dipakai bersama oleh yang dilambangkan (signified) dan yang melambangkan (signifier). Makna yang dimaksudkan penutur dapat diungkap melalui predikasi-predikasi itu. Sebagai contoh, ungkapan metafora Waktu adalah uang. Pada ungkapan ini, waktu sebagai signified, uang sebagai signifier. Predikasi-predikasi yang dapat dipakai bersama adalah berguna, berharga, sangat dibutuhkan, dipakai secara teratur. Bila dipakai dalam kalimat, menjadi (1)Uang itu berguna bagi setiap orang, (2) Dalam kehidupan sehari-hari, uang sangat berharga, (3) Uang sangat dibutuhkan siapa saja, dan (4) Uang harus dipakai secara teratur. Setiap kata uang pada kalimat-kalimat di atas, dapat didistribusi dengan kata waktu. Ini membuktikan predikasi-predikasi itu dapat dipakai bersama antara signifier uang dengan signified waktu. Dengan demikian, makna yang dimaksud ungkapan metaforis tersebut adalah waktu itu berharga nilainya, sangat berguna bagi siapa saja, sangat dibutuhkan siapa saja, dan harus dipakai secara teratur sebagaimana uang.

Komponen Pembangun Metafora

Domain target (signified) dan domain sumber (signifier) merupakan dua komponen pembangun metafora. Identifikasi atas keduanya menjadi dasar pijakan arah transfer konsep dan distribusi predikasi dalam upaya merekonstruksi makna lugas dibalik makna kias sebuah konstruksi kalimat metaforis. Pradopo (2005:66-67) menyebutkan bahwa kadangkala salah satu domain dalam metafora sengaja dilesapkan oleh penuturnya. Dalam metafora seperti ini penutur hanya memunculkan sifat-sifat domain yang disesapkan itu. Metafora seperti ini disebutnya sebagai metafora implisit (implied metaphor). Seperti, Politik selalu berombak. Politik sebagai domain target dikiaskan dengan (sesuatu) yang berombak. Berombak merupakan predikasi laut. Jadi, domain sumber yang dilesapkan adalah laut. Sifat-sifat laut yang berombak mendeskripsikan bagaimana politik di mata penutur kalimat metaforis itu.

Bagaimana dengan Rekening Gendut Perwira Polri?

Dalam kasus kebahasaan ini, kita dihadapkan pada struktur sintaksis metafora dalam bentuk frasa. Kata rekening, dalam konstruksi itu berperan sebagai pokok frasa. Gendut merupakan atribut, Perwira Polri merupakan posesif pronomina atas kata rekening. Untuk memudahkan pemahaman, frasa metaforis ini dapat ditransformasi menjadi kalimat metaforis atas dasar posesif pronomina tadi. Sehingga, menjadi Perwira Polri memiliki rekening. Selanjutnya diderivasikan menjadi Rekening itu gendut. Transformasi seperti ini memudahkan kita mengidentifikasi kedua domainnya. Dari sini menjadi jelas bahwa rekening merupakan domain target, yakni domain yang kondisi-kondisinya dapat diuraikan oleh domain sumber. Gendut merupakan kondisi yang dimiliki oleh domain sumber yang sengaja dilesapkan penutur. Melalui bantuan visualisasi karikatur, diketahui bahwa domain yang dilesapkan itu adalah babi. Jadi, secara struktural metafora Rekening gendut Perwira Polri merupakan implied metaphor.
Bagaimana maknanya? Apa sebenarnya yang dimaksud penuturnya? Untuk mengetahui sifat dan kondisi apa yang dimaksud penutur atas rekening itu, perlu dimunculkan predikasi-predikasi lain pada babi selain gendut dan sifat-sifat fisik pada gendut itu sendiri. Maaf, sebagai contoh, predikasi lain babi adalah banyak makan, makan apa saja, dan lain-lain. Sementara, kondisi fisik yang melekat pada gendut adalah isi perutnya banyak. Jadi, berdasarkan sedikit predikasi dan kondisi itu saja secara ilmiah sudah dapat direkonstruksi makna yang dimaksud penutur, dalam hal ini pihak Tempo, adalah rekening Perwira Polri itu banyak makan (diisi terus), makan apa saja (diisi apa saja) sehingga isi (jumlah nominalnya) banyak. Pada prinsipnya semakin banyak penanggap tutur menghadirkan predikasi dan kondisi yang dapat diberlakukan pada kedua domain akan semakin jelas makna apa yang dimaksud penutur dalam metaforanya.
Hal lain yang penting dicermati adalah target domain. Domain ini merupakan fokus sasaran makna kias yang bersumber dari source domain. Makna kias apa pun yang muncul pada metafora Rekening gendut Perwira Polri tidak dimaksudkan pada Perwira Polri tetapi pada rekening karena Perwira Polri bukan target domain melainkan posesif pronomina dalam konstruksi sintaksis itu. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis penegaskan salah alamat apabila babi ditafsirkan sebagai prajurit polri sebagaimana yang disampaikan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Edward Aritonang (Kompas, 1 Juli 2010). Segala kondisi yang melekat pada (babi) gendut sebagai domain sumber hanya mendeskripsikan kondisi-kondisi yang dimaksudkan penutur pada rekening sebagai domain target. Begitu pula bila ditasirkan bahwa yang dimaksud babi itu adala kantor institusi Polri, sebagaimana disampaikan Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Kombespol Marwoto Soeto (Jawa Pos, 1 Juli 2010).
Kemudian, yang tetap menjadi pertanyaan adalah mengapa menggunakan metafor babi? Mengapa tidak menggunakan ayam? Dalam ilmu retorika maupun stilistika dikenal istilah kata konkret (Concrete word) dan pilihan kata (diction). Dari sekian kata, penutur kreatif akan menentukan kata mana yang paling dianggap mampu mewakili gambaran imajinya. Ia harus memilih kata mana yang dianggap paling bisa mewadahi pikiran dan perasaanya untuk disampaikan pada orang lain. Pihak Tempo menganggap kata babi-lah yang memenuhi kedua ketentuan itu. Justru disitulah terkandung kadar metaforanya. Kata ayam dianggapnya tidak mampu mewakili gambaran imaji, pikiran, dan perasaannya yang hendak disampaikan pada masyarakat. Celengan ayam dianggapnya sebagai hal yang biasa dan wajar, padahal ia ingin menyampaikan sesuatu yang tidak wajar sebagaimana diutarakan pimpinan redaksinya, Wahyu Muryadi (Jawa Pos, 1 Juli 2010).
Terlepas dari sudut pandang hukum, analisis semantis metafora seperti di atas membuktikan bahwa tanpa disertai kompetensi linguistik serta kompetensi sosiokultural linguistik yang memadahi penafsiran atas metafor-metafor yang akhir-akhir ini kerap digunakan media massa, pejabat negara, maupun penegak hukum justru akan membingungkan masyarakat. Penafsiran yang keliru dikhawatirkan memberi konstribusi terhadap terbangunya opini publik yang juga keliru. Lebih ironis lagi, bila penafsiran yang keliru itu dijadikan dasar membangun legal opinion tertentu, hasilnya pasti menyesatkan. Dan, bila dijadikan dasar pijakan dilakukannya langkah-langkah hukum, proporsionalitas mendudukkan permasalahan pasti perlu dipertanyakan.

Solusi

Sepertinya patut direnungkan kembali tiga pertanyaan penulis terdahulu. Kita perlu memastikan apakah kondisi psikologis institusi penegak hukum kita kini berada pada posisi siap menerima kebebasan berbahasa dengan segala kemungkinan efek kebahasaannya. Beban berat yang dipikul Polri dan segala pretensi negatif yang ditimpakan kepadanya, tidak tertutup kemungkinan menjadikan Polri secara institusional amat sensitif terhadap style pemberitaan ala Tempo. Kebebasan pers di alam reformasi serta kode etik jurnalistik, mungkin perlu dipikirkan bagaimana implikasinya terhadap kebebasan menggunakan bahasa.
Penulis amat setuju solusi yang diajukan Ketua Aliansi Jurnalis Independen, Nezar Patria. Apapun alasannya, masalah ini akan lebih baik bila diselesaikan melalui mediasi Dewan Pers karena sumber permasalahannya merupakan produk pers. Tuntutan pidana justru membuat masyarakat penasaran dan merosot kepercayaannya kepada Polri. Menurut penulis, mestinya Polri tidak perlu antusias menyikapi masalah ini hanya dari sisi kulitnya (bahasa) saja, tetapi pada isinya. Pada esensi masalah itu. Masyarakat akan lebih terkagum-kagum bila Polri bergegas mencari jawaban siapa yang membocorkan data rekening para Perwira Polri itu pada Tempo? Benarkah rekening para perwira yang disebutkan itu gendut? Dari mana para perwira itu memberi makan babi-babi-nya?