Senin, 05 Maret 2012


TEKNIK DISTRIBUSI PREDIKASI
MEMUDAHKAN SISWA MEMAHAMI METAFORA DAN SIMILE 
DALAM PUISI

Oleh : Drs. Akip Effendy, M.Pd.       
                                                                       
Tulisan ini disusun berdasarkan keberhasilan pembelajaran gaya bahasa yang dilakukan penulis, khususnya metafora dan simile. Pembelajaran yang dimaksud didesain dan dilaksanakan dalam bentuk penelitian tindakan kelas. Hal itu dilakukan karena pada pembelajaran pemahaman puisi, pada kenyataannya siswa selalu menemui  kesulitan dalam memahami kata-kata kias, baik yang berupa lambang maupun ungkapan, yang digunakan penyair dalam puisi.  Padahal, tanpa dapat memahami itu tidak mungkin totalitas makna puisi dapat dipahami dengan benar. Bahkan, pemahaman puisi melalui teknik parafrase pun sulit dilakukan dengan baik tanpa mampu menghadirkan kembali kandungan makna lugas dari ungkapan maupun lambang yang digunakan penyair dalam puisi.
Penyair menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi yang khas dalam puisi. Mereka menyatakan sesuatu dengan cara dan gayanya sendiri. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa secara khas ini, Teeuw (1984:70-72) mengemukakan bahwa penyair sering memakai bahasa yang aneh, gelap, bahkan menyimpang dari pemakaian  bahasa yang wajar dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa puisi bersifat multidimesnsional, memiliki daya hidup, keindahan dan kedalaman makna yang dikandungnya sangat misterius. Itu semua hanya dapat diteropong jika pembaca puisi tidak saja memiliki kompetensi linguistik, sosial, budaya, tetapi juga memiliki kepekaan feeling yang tajam dan terlatih. Tuntutan tersebut, tentu akan menjadi kendala tersendiri bagi siswa sebagai pembaca pemula. Dalam keadaan seperti ini, guru yang kreatif  tidak akan tinggal diam. Ia akan mencari kiat-kiat khusus yang dapat digunakan untuk membantu siswanya memahami makna puisi.
Sumardjo dan  Saini (1986:27) mengungkapkan bahwa pada umumnya penyair menyukasi penggunaan gaya bahasa kiasan dalam puisi, seperti metafora, simile, dan personifikasi. Jenis gaya bahasa ini disukai karena memiliki daya tarik dan daya ungkap yang amat kuat. Daya tarik terlahir dari citra (imaji) lambang yang digunakan sedang daya ungkap muncul dari kekuatan makna kias lambang itu. Citra dan lambang dalam puisi mampu memberi gerak dan menghidupkan puisi. Citra dan lambang mampu mewakili dan menyampaikan gagasan, perasaan, maupun pengalaman penyair pada pembaca. Bahkan, menurut Freeborn (1996:63) metafora - termasuk simile - bukanlah sekedar alat imajinasi puitik dan hiasan retorik semata, tetapi merefleksikan alam pikiran, tindakan, dan pengalaman penyairnya. Metafora mencerminkan siapa dan bagaimana pemakainya. Justru, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mungkin siswa mampu  menangkap gagasan, perasaan, dan pengalaman penyair tanpa mereka mampu memahami makna kias lambang-lambang yang digunakan itu.
Pada saat membaca puisi, siswa berhadapan dengan masalah keterbatasan kompetensi sosial, budaya, maupun kompetensi linguistiknya. Pengalamannya yang minim terhadap kenyataan-kenyataan sosial budaya dalam kehidupan serta beragamnya tingkat penguasaan aspek kebahasaan, baik yang berhubungan dengan kosa kata, ungkapan, peribahasa dan lain-lain, menjadikan siswa tidak mampu menafsirkan makna metafora dan simile dengan baik. Oleh karena itu, penulis mencoba merancang sebuah teknik yang memungkinkan dapat membantu mereka memahami metafora dan simile dalam puisi. Teknik tersebut diberi nama Teknik Distribusi Predikasi.
Teknik Distribusi Predikasi (TDP)
Teknik ini sebenarnya merupakan teknik yang mudah dan sederhana, tapi efektif diterapkan dalam pembelajaran gaya bahasa kiasan, khususnya metafora dan simile.  Rancangan teknik ini diilhami tulisan  John I. Saeed (2005:345-346) dan Abdul Wahab (2005:72) tentang metafora. Menurut Saeed, dalam metafora dan simhle terdapat pemindahan makna (concept transference). Pada keduanya terdapat identifikasi kemiripan hal-hal yang dianalogikan. Hanya saja, analogi dalam metafora bersifat langsung (direct analogi) sedangkan dalam simile bersifat tidak langsung (indirect analogi). Analogi dalam simile bersifat tidak langsung karena dalam gaya bahasa ini digunakan piranti linguistik berupa konjungsi komparatif. Pada keduanya terdapat dua komponen, yaitu domain target (target domain) dan domain sumber (source domain). Wahab (2005:72) mengistilahkan domain target sebagai signified, yaitu bagian yang posisinya dilambangkan dan domain sumber sebagai signifier, yaitu bagian yang posisinya dijadikan sebagai lambang.
Atas dasar adanya pemindahan makna antara lambang dengan yang dilambangkan itu, dapat diasumsikan bahwa konsep-konsep yang berlaku atas lambang tentunya akan berlaku pula atas yang dilambangkan. Pengertian-pengertian yang terjadi secara wajar dan logis pada lambang, terjadi pula pada yang dilambangkan. Konsep-konsep itu secara verbal diwujudkan dalam bentuk predikasi-predikasi. Melalui predikasi-predikasi yang dapat dipakai bersama secara distributif inilah makna metafora maupun simile dapat direkonstruksi. Semakin banyak predikasi yang dapat dimunculkan, akan semakin baik dan jelas makna metafora dan simile.
Tentu, pada saat mencoba mendeskripsi predikasi-predikasi suatu lambang, dimungkinkan muncul predikasi tertentu yang tidak dapat berlaku pada komponen yang dilambangkan. Untuk itu, predikasi-predikasi itu harus memenuhi dua kreiteria, yaitu berterima (appropriatness) dan logis (logic). Berterima maksudnya predikasi itu layak dan dapat diterima sebagai ekspresi komunikasi yang wajar dalam kehidupan sehari-hari. Sementara, logis maksudnya predikasi itu merupakan pernyataan yang dapat diterima akal sehat. Sebagai contoh, pada kalimat metaforis wajahmu bulan purnama, predikasi benda ruang angkasa dapat berlaku pada komponen bulan purnama, tetapi tidak berlaku pada komponen wajahmu. Salah satu predikasi yang memenuhi kriteria di atas untuk kalimat metaforis ini adalah indah dipandang.
Untuk lebih jelasnya, pada kalimat metaforis Waktu adalah uang,  kata waktu sebagai komponen yang dilambangkan, uang sebagai komponen yang melambangkan (lambang). Predikasi-predikasi yang dapat dipakai bersama adalah berguna, berharga, sangat dibutuhkan, dipakai secara teratur. Bila dipakai dalam kalimat, sebagai berikut.
(1)     Uang itu berguna bagi setiap orang.
(2)     Dalam kehidupan sehari-hari, uang sangat berharga.
(3)     Uang sangat dibutuhkan siapa saja.
(4)     Uang harus dipakai secara teratur. 
 Setiap kata uang pada kalimat-kalimat di atas, dapat didistribusi dengan kata waktu. Ini membuktikan predikasi-predikasi itu dapat dipakai bersama antara signifier uang dengan signified waktu. Dengan demikian, makna yang dimaksud ungkapan tersebut adalah waktu itu berharga nilainya, sangat berguna bagi siapa saja, sangat dibutuhkan siapa saja, dan harus dipakai secara teratur sebagaimana uang. Proses rekonstruksi makna kias seperti itu digambarkan seperti bagan berikut.

Aplikasi dalam Pembelajaran
Penerapan teknik ini dalam pembelajaran dapat menggunakan metode apa saja, bergantung situasi dan kreativitas guru. Yang terpenting, dalam pelaksanaannya dilakukan empat tahap kegiatan  belajar yang disebut dengan DVD-R, yaitu deskripsi, verifikasi, distribusi, dan rekonstruksi. Deskripsi merupakan kegiatan mencari, menemukan, dan menuliskan predikasi-predikasi yang mungkin berlaku atas suatu lambang. Verifikasi  merupakan kegiatan rechek oleh teman untuk memastikan apakah predikasi-predikasi yang ditemukan telah memenuhi azas berterima (appropriatness) dan logis (logic). Distribusi  merupakan kegiatan menyusun kalimat sederhana dengan lambang dan predikasi-predikasi, kemudian menukarkan lambang dengan komponen yang dilambangkan. Dan, rekonstruksi merupakan kegiatan menjabarkan makna yang dikandung metafora atau simile berdasarkan pengertian-pengertian kalimat hasil kegiatan distribusi.
Sebagai sebuah model, penulis telah melakukan kegiatan pembelajaran sebagai berikut. Pada tahap perencanaan,  disiapkan beberapa puisi yang relevan dan memiliki tingkat kesulitan yang relatif sama. Dipersiapkan pula perangkat pembelajaran, termasuk lembar lembar kerja siswa dan perangkat post test. Pada tahap pelaksanaan, dijelaskan cara memahami metafora dan simile dengan teknik distribusi predikasi beserta contohnya melalui LCD Projector. Selanjutnya, siswa dibagi mengadi 8 kelompok. Empat kelompok yang pertama , yaitu kelompok A,B,C, dan D merupakan lingkar kelompok I (LK1), empat kelompok yang kedua , yaitu kelompok E,F,G, dan H merupakan lingkar kelompok II (LK2). LK melakukan kegiatan belajar mendeskripsi, memverifikasi, mendistribusi, dan merekonstruksi. Masing-masing LK diberi sebuah teks puisi yang berbeda. Selanjutnya, pada LK1, begitu pula pada LK2, kegiatan belajar berlangsung sebagai berikut.
1) Deskripsi
Semua kelompok dalam LK membaca bersama teks puisi , lalu ditetapkan gaya bahasa metafora atau simile yang terdapat di dalamnya. Metafora atau simile yang ditemukan beserta lambang dan yang dilambangkan dituliskan dalam lembar kerja. Setiap anggota kelompokdalam LK, secara bergiliran,  mengajukan sebuah predikasi mungkin berlaku pada  lambang dengan cara menjawab pertanyaan “Apakah yang dapat Anda katakan tentang lambang itu?” Jika semua anggota telah memberi jawaban, maka didapatkan deskripsi predikasi sebanyak 5 buah. Kelima predikasi ditulis dalam lembar kerja siswa
2) Verifikasi
Lembar kerja kelompok A diverifikasi kelompok B, lembar kerja kelompok B diverifikasi kelompok C, dan seterusnya. Pada saat kelompok B memverifikasi lembar kerja kelompok A, dilakukan dua kegiatan, yaitu 1) me-rechek apakah predikasi-predikasi telah memenuhi azas berterima (appropriatness) dan logis (logic), 2) predikasi yang tidak diajukan (ditulis) oleh kelompok A, tetapi diajukan oleh kelompok B dalam lembar kerjanya, ditambahkan pada lembar kerja kelompok A. Setelah itu, lembar kelompok A oleh kelompok B diberikan pada kelompok C untuk dilakukan hal yang sama. Kegiatan ini terus berlangsung berputar, samapi akhirnya lembar kelompok A kembali pada kelompok A. Hasilnya, lembar kerja masing-masing kelompok pada LK1 akan sama. Kegiatan yang serupa juga terjadi pada LK2.
3) Distribusi
Pada kegiatan tahap 3 ini, tiap-tiap kelompok dalam LK menyusun beberapa kalimat dengan menggunakan predikasi-predikasi yang ada atas lambang. Kalimat sederhana sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Kalimat-kalimat ditulis dalam lembar kerja. Setelah itu, unsur subjek pada masing-masing kalimat diganti dengan komponen yang dilambangkan dalam metafora atau simile.
4) Rekonstruksi
 Pada tahap terakhir ini, setiap kelompok pada masing–masing LK merumuskan makna metafora atau simile berdasarkan pengertian-pengertian yang terkandung dalam kalimat hasil distribusi. Rumusan makna tersebut ditulis dalam  lembar kerja, keludian disampaikan secara lisan.
Dalam kegiatan penutup, rumusan makna metafora atau simile yang diajukan secara lisan oleh tiap-tiap kelompok pada masing-masing LK dimungkinkan ada sedikit  perbedaan. Untuk itu, masing-masing LK diminta menyimpulkan sebuah rumusan makna metafora atau simile yang telah dipelajari. Setelah selesai, lembar kerja dikumpulkan dan dilanjutkan dengan kegiatan post test. Demikian, semoga tulisan ini berguna bagi siapa saja yang peduli terhadap peningkatan kualias PBM dan hasilnya dalam bidang gaya bahasa, khususnya metafora dan simile.



DAFTAR RUJUKAN


Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra, Epistimologi Model Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Effendy, Akip. 2009. Metafora dalam Puisi Remaja pada Majalah Sastra Horison. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Unisma.
Kemmis,  Stephen and McTaggart. 1988. The action research planner. Victoria: Deakin University Press. 3rd ed.

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Saeed, John  I. 2005. Semantics. Malden, Oxford, Vitoria : Blackwell Publishing.

Siswantoro. 2005. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

Wahab, Abdul. 1989. Pendekatan Psikolinguistik terhadap Metafora dan Implikasinya dalam Pengajaran Sastra, dalam Puitika. HISKI Komisariat Malang. Malang: YA3.

Wahab, Abdul. 2005. Butir-butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.




MEMAHAMI BAHASA KIAS 
PUISI “SAJAK” KARYA HARTOJO ANDANGDJAJA

Sebuah Aplikasi Pendekatan Tekstual

Oleh : Drs. Akip Effendy, M.Pd.
(Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Tegaldlimo Banyuwangi)


Studi terhadap bahasa kias puisi pada dasarnya telah banyak dilakukan orang dengan model, landasan teori, dan pendekatan yang berbeda-beda.  Keberagaman aplikasi model, landasan teori, dan pendekatan seperti itu, tentu merupakan suatu bentuk usaha yang sangat positif terhadap perkembangan kajian bahasa kias puisi khususnya dan  bahasa kesusastraan pada umumnya. Hasilnya pun  menunjukkan corak fenomena yang beragam pula meskipun dilakukan terhadap objek (puisi) yang sama. Kenyataan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta dan pengkaji bahasa kias puisi.  Puisi merupakan produk kesusastraan yang  multidimesnsional, memiliki daya hidup, keindahan dan kedalaman makna yang dikandungnya sangat misterius. Itu semua hanya dapat diteropong jika kita tidak saja memiliki kompetensi linguistik, sosial, budaya yang  memadahi, melainkan juga harus memiliki kepekaan feeling yang tajam dan terlatih.
 Dalam tulisan ini,  puisi Sajak karya Hartojo Andangdjaja didudukkan sebagai sebuah wacana sastra yang otonom.  Bahasa kias puisi dipandang sebagai unit paparan yang memiliki kesatuan fungsi bentuk, pengertian, dan nilai-nilai estetika tertentu. Wujud konkret unit paparan bahasa tersebut berupa relasi kata-kata sebagaimana terpapar dalam satuan-satuan larik puisi. Keberadaan bahasa kias dalam satuan unit struktur tetentu dalam wacana puisi, selalu terkait dengan totalitas satuan-satuan unit struktur lain yang membangun puisi tersebut secara integral. Makna unit paparan bahasa kias selalu bersifat implied dan disajikan penyair secara simbolis lewat citraan yang dikandung oleh pola dan jenis figurasi bahasa yang dipakai.
Dengan demikian, upaya pemaknaan terhadap sebuah satuan unit struktur, juga harus mempertimbangkan satuan unit struktur lain yang hadir secara simultan dalam puisi. Satuan-satuan unit struktur yang hadir secara simultan itu memiliki tautan citraan dan pendaran makna antara satu dengan lainnya. Pertalian semacam ini biasanya diindikatori oleh (1) kehadiran fonem-fonem yang memiliki relasi secara anaforik, (2) adanya diksi-diksi yang memiliki jaringan kolokasional, (3) adanya konotasi makna sebagai akibat relasi semantis unsur-unsur kebahasan antar satuan unit struktur.
Sementara itu, sebagai satuan unit struktur formal yang dapat disegmentasikan dari satuan unit yang lain, bahasa kias puisi dapat dipilah dan ditelaah melalui pola dan jenis figurasi bahasa yang digunakan. Pola dan jenis figurasi bahasa dalam suatu puisi keberadaannya sengaja dirancang oleh penyair agar paparan bahasa yang khas itu mampu mewadahi gagasan penyair sebanyak-banyaknya. Penggunaan bahasa seara khas seperti itu juga berfungsi memberikan partisipasi dalam usaha penciptaan suasana imajinatif serta mampu memberi efek estetis tertentu pada puisi. 

Keberadaan Bahas Kias
Keberadaan bahasa kias diindikatori oleh adanya (1) tautan pendaran, (2) jaringan kolokasional, dan (3) pusat rujukan semantis. Relasi semantis terjadi antarunsur yang ada dan dipakai secara serempak (simultan) dalam suatu puisi. Terjadinya relasi itu, baik antarunsur yang berdistribusi dalam satuan unit struktur yang sama maunpun tidak, dapat memunculkan citraan semantis baru unsur itu. Citraan semantis baru sebagai akibat relasi semantis itu mengakibatkan unsur-unsur itu tidak lagi mempertahankan konsep leksikalitasnya, melainkan secara kreaatif melahirkan citran  semantis lain yang tidak berlaku secara umum, bahkan mungkin eksklusif karena secara orisinal hanya ada dan diupakai dalam puisi tertentu.
Tautan pendaran merupakan kumpulan kata yang mempunyai persamaan bunyi secara anaforik yang lazim berupa bunyi akhir. Kata-kata yang tergabung dalam tautan pendaran tertentu memiliki pertalian semantis secara asosiatif. Jaringan kolokasional merupakan makna kata-kata yang secara asosiatif muncul akibat adanya pertautan semantis secara regular meskipun masing-masing kata berada dalam distribusi yang berbeda. Sementara, pusat rujukan merupakan konsep makna suatu unsur pembangun unit struktur terntentu yang menjadi sentra acuan pelacakan konsep makna unsur-unsur pembangun yang lain. Ia menjadi acuan pelacakan citraan semantis baru, baik unsur pada unit satruktur yang sama maupun unit struktur yang berbeda.

Kelengkapan Unsur Fungsional
Meskipun keberadaan sisten bahasa sastra bersifat sekunder, bahasa kias yang merupakan unit paparan bahasa yang memiliki struktur formal, dalam kajiannya tak dapat dilepaskan dari sistem primernya, yakni sistem linguistik. Dengan demikian, unit struktur formal dikatakan lengkap apabila unit struktur itu telah memiliki unsur fungsional secara lengkap. Kelengkapan unsur tersebut dalam satu satuan unit sekurang-kurangnya terdapat unsur pelaku jenis lakuan dan unsur predikatoris secara lengkap unsur-unsur fungsional itu adalah sebagai berikut.
1.        subjek: persona – nomina topik yang melakukan jenis lakuan tertentu.
2.        predikator: jenis lakuan yang berkaitan dengan subyek yang dibicarakan.
3.        komplemen: obyek lakuan persona atau nomina penyerta predikator.
4.        adjunct: keterangan yang lazim ada pada struktur hipotaktis.
5.        arbitrera: unsur unit struktur yang bersifat manasuka.

Identifikasi Satuan Unit Struktur yang Dicurigai
          Identifikasi dilakukan berdasarkan citraan makna secara sederhana terhadap satuan-satuan unit struktur yan diurigai sebagai bahasa kias. Terlebih dahulu, puisi tersebut dipaparkan sebagai berikut.

                            SAJAK

Sajak ialah kenangan yang tercinta                            (1)
mencari jejakmu, di dunia                                           (2)
Ia mengelana di tanah-tanah indah                            (3)
lewat bukit dan lembah                                               (4)
dan kadang tertegun tiba-tiba membaca                     (5)
jejak kakimu di sana                                                    (6)

Semantara di mukanya masih menunggu                   (7)
yojana biru                                                                  (8)
Kaki langit yang jauh                                                  (9)
Jarak-jarak yang harus ditempuh                               (10)

Ia makin rindu                                                             (11)
dalam do’a, dan bersimpuh,                                       (12)
Tuhanku .........                                                            (13)

Sajak ialah kenangan yang tercinta                            (14)
mencari jejakmu, di dunia                                           (15)

Secara sederhana, satuan citraan yang terkandung dalam ”Sajak” ini mengacu pada gambaran (1) sajak merupakan kenangan tercinta selalu mencari jejak kehidupan dunia, (2) sajak berkelana di tanah-tanah yang indah melewati bukit dan lembah, (3) sajak kadang-kadang tertegun secara tiba-tiba bila membaca jejak kehidupan ( -mu, manusia) di dunia, (4) sementara di mukanya masih menunggu sebuah yojana biru, kaki langit yang jauh yang mengandung gambaran jarak (perjalanan hidup) yang harus ditempuh, dan (5) sajak makin rindu, bahkan ia berdoa dan bersimpuh pada Tuhan.
Berdasarkan citraan sederhana itu, satuan-satuan unit struktur yang dapat dicurigai adalah sebagai berikut.

Sajak ialah kenangan yang terinta                              (1)
mencari jejakmu, di dunia                                           (2)
Ia mengelana di tanah-tanah indah                            (3)
lewat bukit dan lembah                                               (4)
dan kadang tertegun tiba-tiba, membaca                    (5)
......................................................................

Sementara di mukanya masih menunggu                   (7)
yojana biru                                                                  (8)
Kaki langit yang jauh                                                  (9)
Jarak-jarak yang harus ditempuh                               (10)
......................................................................

Tautan Pendaran, Jaringan Kolokasional, dan Pusat Rujukan Semantis
          Untuk mengetahui bahwa satuan-satuan unit paparan itu merupakan bahasa kias atau bukan, perlu diadakan analisis pembuktian terhadap unsur-unsur pada masaing-masing satuan unit, apakah unsur-unsur yang dikandung oleh masing-masing satuan unit itu memiliki tautan pendaran makna, hubungan kolokasional, dan satu kesatuan pusat rujuakan? Dalam telaah bahasa kias, yang menerapkan pendekatan tekstual, tiga fenomena ini harus dimiliki oleh bentuk bahasa kias tertentu dalam puisi.  Berkaitan dengan itu, dalam puisi ”Sajak” karya Hartodjo Andangdjaja, ditemukan fenomena sebagai berikut.

(1)  Tautan Pendaran
   Pada satuan unit struktur yang dicurigai yang terdiri atas larik-larik 1,2,3,4,5,6,7,8,9, dan 10 masing-masing memiliki unsur pertalian bunyi /a/  yaitu pada hubungan antarkata tercinta pada larik 1, dunia pada larik 2, mengelana pada larik 3, membaca pada larik 5, dimukanya pada larik 7, dan yojana pada larik 8. sedangkan, pada larik-larik yang lain masih ada pertalian bunyi lagi, yaitu pada hubungan antarkata tanah-tanah indah pada larik 3, lembah pada larik 3, jauh pada larik 9, dan ditempuh pada larik 10. Dua kelompok hubungan antarkata ini memiliki hubungan pertautan bunyi secara anaforik, yaitu bunyi /a/ dan /h/.
       Kedua kelompok kata yang memiliki hubungan pertautan bunyi itu merupakan unsur-unsur yang hadir secara simultan sehingga pemaknaan terhadap satu unsur, selain harus memperhatikan pautan semantis unsur tersebut dalam satuannya masing-masing, juga harus memperhatikan hubungan unsur tersebut dengan unsur yang lain yang telah memiliki pertautan bunyi secara anaforik. Misalnya, siapakah yang mengelana itu? Yang mengelana tentu yang tercinta. Siapakah yang membaca itu? Tentu yang mengelana. Denan demikian, yang tercinta melakukan kelana adalah untuk membaca  jejak kehidupan di dunia.
          Begitu juga dengan satuan unit struktur yang kedua, karena mempunyai pertalian bunyi secara anaforik, maka pemaknaan atau pencarian gambaran semantis unsur yang satu tidak boleh dilepaskan begitu saja dari unsur yang lain yang ada atau hadir secara serempak dalam satuan unit sturktur itu.

(2)   Jaringan Kolokasional     
   Adanya pertalian bunyi secara anaforik pada dua kelompok kata atau dua satuan unit struktur tersebut mengakibatkan unsur-unsur masing-masin kelompok itu memiliki pertalian makna secara tetap meskipun unsur-unsur itu berada pada distribusi yang berlainan. Pertalian semantis secara tetap ini membuktikan adanya jaringan kolokasional antar diksi yang ada, baik pada kelompok yang pertama maunpun pada kelompok kata yang kedua.
Jaringan kolokasional pada kelompok kata yang terdapat dalam satuan unit struktu yang pertama adalah  tercinta---dunia---mengelana---membaca---di mukanya---yojana. Kelompok kata ini dinyatakan mempunyai hubungan kolokasional karena hal yang terinta itu memiliki alternatif tempat kegiatan, yakni dunia. Dunia memang merupakan tempat untuk mengelana. Salah satu alternatif kegiataan dalam pengelanaannya adalah membaca. Karena sering mengelana, sampai-sampai di mukanya tergambar sebuah  tergambar sebuah yojana, sebagai lukisan liku-liku kehidupan di dunia.
Sementara itu, kelompok kata yang kedua juga memiliki pertalian semantis secara tetap yang terjalin dalam kata-kata tanah-tanah indah---lembah---jauh---ditempuh. Kelompok kata ini dinyatakan mempunyai hubungan kolokasional karena alternatif adanya tanah-tanah indah  itu adalah di lembah, atau untuk mencari tanah-tanah indah itu harus dengan menyusuri lembah sebagai simbol rintangan, kesulitan, kesukaran untuk mendapatkan tanah-tanah indah yang merupakan kebahagiaan dan kesenangan dalam liku-liku kehidupan. Ia (si Sajak) harus melintasi jarak yang jauh untuk mendapatkan tanah-tanah indah itu. Jarak yang jauh itu merupakan gambaran perjalanan kehidupan yang memerlukan kesabaran dan waktu yang lama. Namun demikian, jarak itu harus ditempuh.
Melalui analisis semantis secara berangkai seperti di atas, dapat diambil pengertian bahwa secara tetap masing-masing kelompok kata memiliki pertautan semantis sebagai akibat adanya jaringan kolokasional di antara diksi-diksi yang dipakai secara serempak dalam satuan-satuan unit struktur itu. Sederet kata yang tergabung dalam sebuah jaringan kolokasional dalam satuan unit struktur paparan dalam puisi, bersama-sama membangun sebuah gambaran semantis tertentu sehingga secara konkret melahirkan penggunaan bahasa kias tertentu pula.

(3)   Pusat Rujukan     
Pusat rujukan semantis dapat dilihat dari runtun aspek semantis kata-kata yang mempunyai tautan pendaran dan jaringan kolokasional. Pada kelompok kata yang pertama, dapat dilihat bahwa hal yang terinta itu mengacu pada sajak, sedankan dunia memiliki hubungan dengan dengan yang tercinta. Aspek semantis mengelana memiliki hubungan dengan mengelana. Aspek semantis mengelana memiliki hubunan dengan membaca. Membaca memiliki hubunan denan di mukanya. Sementara aspek semantis di mukanya tak dapat lepas dari aspek semantis yojana. Oleh karena semua kata memiliki runtun makna dengan kata tercinta, sedangkan kata itu memiliki hubungan dengan Sajak sebagai pusat pembicaraan (subyek, nomina pelaku dalam suatu struktur kalimat/ungkapan), maka dapat diartikan bahwa secara implisit keseluruhan aspek semantis kata-kata itu mengacu pada Sajak sebagai pusat rujukan. Predikatoris mengelana dan membaca berlaku pada subyek yang tercinta, yaitu Sajak.
Pada kelompok kata yang kedua, aspek semantis katalembah bertalian dengan aspek semantis kata tanah-tanah indah. Tanah-tanah indah merupakan adjunct dari unsur predikatoris unit strukturnya. Sementara, unsur itu mengacu pada upaya penjelasan jenis lakuan subyek Ia pada Ia mengelana di tanah-tanah indah. Jadi, aspek semantis semua unsur dalan satuan unit struktur ini pun merujuk pada Sajak sebagai pusat rujukan. Aspek semantis jauh berkolokasi dengan aspek semantis ditempuh. Hal ini karena jauh dan ditempuh mempunyai tautan pendaran dengan lembah dan tanah-tanah indah. Sementara itu, lembah dan tanah-tanah indah merujuk pada Sajak. Dengan demikian,  jauh dan ditempuh pun merujuk pada Sajak.
Keseluruhan diksi pada kelompok kata, baik yang pertama maupun yang kedua, mengacu pada Sajak sebagai pusat rujukan. Sajak sebagai topik pembicaraan, pusat rujukan semantis semua unsur pada tiap-tiap satuan unit struktur paparan, dengan sendirinya nomina non-persona ini berperan sebagai subyek atas predikatoris mengelana dan membaca dalam struktur paparan  puisi itu. Predikatoris mengelana dan membaca ini merupakan predikatoris yang hanya berlaku untuk persona. Sehingga, keseluruhan makna yang dibangun mengacu pada pemenuhan syarat terbentuknya struktur bahasa kias personifikasi. Kedua kelompok kata yang memiliki tautan pendaran dan jaringan kolokasional itu digambarkan sebagai berikut.

                                                Tercinta
                                                    Dunia
                                                    Mengelana
                  SAJAK --------      Membaca
                                                    Di mukanya
                                                    Yojana

                                                    Tanah-tanah indah
                 SAJAK ---------     Lembah
                                                    Jauh
                                                    Ditempuh


Relasi Semantis
Pada masing-masing unsur tiap satuan unit struktur, baik di dalam maupun di luar satuan sunit struktur itu, muncul konotasi makna sebagai akibat pautan semantis. Kata mengelana, pada satuan unit struktur yang pertama, dalam Ia mengelana di tanah—tanah indah, telah lepas dari makna literalnya sebagai pengaruh dari hubungannya dengan makna Ia (Sajak). Konotasi yang muncul sebagai akibat adanya relasi semantis antarunsur dalam satuan unit struktur itu. Begitu juga dengan kata di mukanya, dalam sementara di mukanya masih menunggu, secara tersurat dalam larik ini dinyatakan bahwa ada sesuatu yang menunggu, dan yang menunggu ada di mukanya. Dengan demikian, secara terselubung akan lahir makna baru dari di mukanya itu sebagai akibat adanya tautan semantis dari kata menunggu.
Sementara, relasi semantis unsur-unsur antarsatuan struktur, secara eksplisit diindikatori oleh adanya tautan pendaran, kolokasi makna, dan pusat rujukan masing-masing unsur yang saling berhubungan karena hadir secara simultan. Makna baru suatu unsur dalam satuan unit struktur tertentu muncul karena relasi semantis yang terjalin secara sintagmatis antarunsur dalam satuan unit struktur yang berbeda.  Misalnya, kata membaca, secara integratif maknanya sudah tidak bersifat literal. Kata membaca dalam  dan kadang tertegun tiba-tiba, membaca pada larik kelima  ini, proses pencarian makna barunya harus dilacak melalui tautan pendaran dan kolokasinya terhadap kata mengelana dalam  Ia mengelana di tanah-tanah indah. Kedua kata itu dikatakan mempunyai tautan pendaran dan jaringan kolokasional karena terdapatnya pertalian bunyi /a/. Sementara, kata mengelana mempunuyai rujukan Ia (Sajak). Dengan demikian, kata membaca pun rujukannya adalah Ia (Sajak) sehingga makna baru kata membaca  ini timbul karena adanya tautan semantisnya dengan Ia (Sajak). Begitu pula halnya dengan tanah-tanah indah dan  lembah dalam  Ia mengelana di tanah-tanah indah, dan dalam  lewat bukit dan lembah. Makna barunya, pun  timbul sebagai akibat adanya relasi kata-kata itu dengan Ia (Sajak).

Kelengkapan Struktur Formal Gaya Bahasa
Kelengkapan unsur fungsional unit paparan tertentu tak dapat dilepaskan dari struktur formal unit paparan itu. Dengan demikian, berarti kembali menengok pada sistem primer linguistik, yang mana unit paparan dinyatakan lengkap bila minimal telah mempunyai unsur fungsional yang berupa subyek sebagai persona pelaku atau nomina pusat pembicaraan, dan predikator sebagai abstraksi jenis lakuan tertentu yang dilakukan subyek.
Unit struktrur (larik) 1 dan 3 merupakan unit struktur yang lengkap, karena pada larik 1 Sajak ialah kenangan yang tercinta, dan pada larik 3  Ia mengelana di tanah-tanah indah, masing-masing sudah terdapat nomina sebagai subyek dan sebagai pusat pembicaraan (S), yaitu Sajak atau Ia, dan unsur predikatoris (P), yaitu kata kenangan dan  mengelana. Selasin itu, masing-masing masih diperlengkap dengan adanya unsur leksikal yang bersifat hipotaktis (Adjunct) yang berupa kata tercinta dan frase tanah-tanah indah.
Pada unit struktur 2, 4, 5, 7, 8, 9, dan 10 merupakan unit-unit struktur yang tidak lengkap karena unsur fungsional yang terpenting  pada unit 2, 4, 5, dan 7 dilesapkan, yaitu unsur fungsional yang berupa subyek (S) sebagai nomina pusat pembicaraan dan pelaku jenis lakuan tetentu. Aunsur pre3dikatoris unit-unit itu adalah mencari, lewat, tertegun, membaca, dan menunggu. Pada larik 2 terdapat komplemen jejakmu dan adjunct berupa frase preposisional di dunia. Pada larik 4, 5, dan 7 terdapat adjunct berupa bukit dan lembah, tiba-tiba, dan di mukanya.
Sementara itu, pada larik 8  yojana biru, hanya merupakan unsur fungsional penyerta atau tambahan, yakni komplemen. Predikator unit itu dilesapkan, begitu pula dengan subyeknya. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam analisis relasi semantis pada bagian sebelumnya, pusat rujukan unit-unit struktur itu adalah Ia (Sajak). Subyek ini tidak dihadirkan secara khusus dalam larik 8. Larik 9 dan 10 dinyatakan sebagai satuan unit struktur tidak lengkap karena unit-unit paparan itu hanya dibangun oleh unsur subyek (S) kaki langi dan jarak-jarak yang diikuti adjunct berupa perluasan frase yang jauh dan klausan bawahan yang harus ditempuh.

Kategori Figurasi Bahasa
             Untuk menetahui sebuah satuan struktur dapat dikategorikan sebagai jenis gaya bahasa tertentu, terlebih dahulu harus mampu mengungkap makna terselubung yang terkandung dalam satuan struktur itu. Makna terselubung biasanya ditentukan oleh relasi semantis unsur-unsur dalam suatu unit struktur sedang relasi semantis antarsatuan unit struktur dapat diketahui dengan melacak tautan pendaran, jaringan kolokasional, dan pusat rujukan semantis unsur-unsur yang ada di dalamnya. Selanjutnya, masing-masing satuan unit satruktur (larik) dibahas sebagai berikut.
            
Sajak adalah kenangan yang tercinta.

   Pada larik ini tidak perlu diadakan pelacakan tautan pendaran, jaringan kolokasional, mapun pusat rujukan karena larik ini merupakan larik pertama yang lenkap. Struktur larik ini merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Komposisi struuktur larik ini terdiri atas dua bagian yang dikomparasikan secara lansung, yakni Sajak dibandingkan atau dianalogikan secara langsung dengan kenangan yang tercinta. Sajak sebagai unsur yang dibandingkan (tenor) sedangkan kenangan yang tercinta sebagai unsur yang dijadikan sebagai pembanding (vehicle)
            
mencari jejakmu, di dunia.

          Pada larik ini terdapat kata dunia yang memiliki tauran pendaran dan jaringan kolokasional dengan kata tercinta yang ditandai dengan pertaliuan bunyi /a/. Sementara, kata tercinta merujuk pada kata Sajak. Dengan demikian, berarti satuan unit struktur ini pun mempunyai pusat rujukan yang sama dengan unit struktur sebelumnya, yakni Sajak. Artinya, yang mencari jejak adalah Si Sajak. Sajak adalah unsur noninsani melakukan jenis lakuan insani. Jadi, satuan paparan ini dapat digolongkan sebaai paparan berfigurasi personofikasi.
            
Ia mengelana di tanah-tanah indah.

             Pada larik ini, kata mengelana memiliki pertalian bunyi /a/ dengan kata tercinta pada larik pertama. Sesuatu yang dimaksud dengan Ia dalam larik ini adalah yang tercinta,, yakni Sajak pula. Subyek pelaku dalam satuan unit struktur ini ternyata tak berbeda pula dengan unit-unit sebelumnya. Dengan bergitu, larik ini juga tergolong paparan bermajas personifikasi.
             Pertalian bunyi /h/ pada kata lembah dalam lewat bukit dan lembah, dengan kata tanah-tanah indah  dalam ia mengelana di tanah-tanah indah, mengindikasikan bahwa larik itu  pun memiliki rujukan semantis pada kata Sajak. Sehingga, dapat ditarik pengertian bahwa yang lewat di bukit dan lembah itu pun adalah Sajak. Dalam larik ini, Sajak dikatakan sebagai seseorang yang melakukan kelana melintasi bukit dan lembah. Sajak  yang bukan persona dapat berbuat sebagaimana persona. Dengan demikian, larik ini pun bergaya bahasa personifikasi.
             Begitu pun halnya dengan larik 5, dan kadang tertegun tiba-tiba, membaca.  Ada pertalian bunyi secara anaforik antara kata tiba-tiba juga membaca dengan kata mengelana pada larik 3, yakni dengan bunyi /a/. Sementara, lakuan mengelana, dalam penjelasan larik sebelumnya ditegaskan bahwa lakuan itu merupakan aktivitas subyek Sajak. Kondisi ini juga terjadi pada larik 11,  Ia makin rindu, dan larik 12 dalam do’a, dan bersimpuh. Subyek Ia merasakan apa yang hanya dapat dirasakan manusia, yakni rindu. Sajak juga digambarkan sebagai seorang yang melakukan do’a dan bersimpuh di hadapan Sang Pencipta. Citraan semantis ini hanya ada dalam paparan bermajas personifikasi. Dengan demikian, ketiga unit paparan yang terakhir ini pun tergolong dalam kategori paparan bermajas personiikasi.

Kesimpulan
          Sesuai dengan hasil analisis makna di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.    Makna bahasa kias yang terkandung dalam puisi ”Sajak” karya Hartojo Andangdjaya dapat ditelusuri dan dipahami melalui analisis tautan pendaran, jaringan kolokasional, dan pusat rujukan semantis antarsatuan-satuan unit struktur yang hadir secara simultan.
2.    Relasi semantis yang terjalin secara sintaktis maupun sintagmatis mengakibatkan munculnya citraan semantis yang baru sehingga unsur-unsur itu lepas dari konsep leksikalitasnya.
3.    Di antara beberapa unit struktur yang merupakan wujud paparan bahasa kias dalam puisi ”Sajak” karya Hartojo Andangdjaja, ditemukan paparan-paparan bahasa kias yang memiliki struktur formal secara lengkap dan tidak lengkap.
4.    Jenis figurasi bahasa yang dipakai adalah  figurasi kiasan, yakni personifikasi dan  metafora.    


Daftar Rujukan

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: CV Sinar Baru dan YA3. Cet.I

--------------- 1989. Gaya Bahasa dan Pengembangan Model Pengkajiannya. JPBSI  IKIP Malang  (UM)

--------------- 1990. Pendekatan Tekstuan dalam Analisis Bahasa Kias Puisi. JPBSI  IKIP Malang  (UM)

Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik 2. Bandung: PT Refika Aditama

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra, Epistimologi Model Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Freeborn, Dennis. 1996. Style, Text Analysis and Linguistic Critism. London : MacMillan Press Ltd.

Griffith, Kelley, Jr. 1982. Writing Essays About Literature. New York, San Diego, Chiago, San Francisco, Atlanta, London, Sydney, Toronto : Harcourt Brace Jovanovich Inc.

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko.2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press

Saeed, John  I. 2005. Semantics. Malden, Oxford, Vitoria : Blackwell Publishing

Siswantoro. 2005. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Muhammadiyah University Press

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga

Wahab, Abdul. 1989. Pendekatan Psikolinguistik terhadap Metafora dan Implikasinya dalam Pengajaran Sastra, dalam  Analisis Wacana dan Telaah Sastra. Malang: YA3