MEMAHAMI BAHASA
KIAS
PUISI “SAJAK” KARYA HARTOJO ANDANGDJAJA
PUISI “SAJAK” KARYA HARTOJO ANDANGDJAJA
Sebuah Aplikasi Pendekatan Tekstual
Oleh : Drs. Akip
Effendy, M.Pd.
(Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Tegaldlimo
Banyuwangi)
Studi terhadap bahasa kias
puisi pada dasarnya telah banyak dilakukan orang dengan model, landasan teori,
dan pendekatan yang berbeda-beda. Keberagaman
aplikasi model, landasan teori, dan pendekatan seperti itu, tentu merupakan
suatu bentuk usaha yang sangat positif terhadap perkembangan kajian bahasa kias
puisi khususnya dan bahasa kesusastraan pada
umumnya. Hasilnya pun menunjukkan corak
fenomena yang beragam pula meskipun dilakukan terhadap objek (puisi) yang sama.
Kenyataan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta dan pengkaji
bahasa kias puisi. Puisi merupakan
produk kesusastraan yang multidimesnsional,
memiliki daya hidup, keindahan dan kedalaman makna yang dikandungnya sangat
misterius. Itu semua hanya dapat diteropong jika kita tidak saja memiliki
kompetensi linguistik, sosial, budaya yang
memadahi, melainkan juga harus memiliki kepekaan feeling yang tajam dan terlatih.
Dalam tulisan ini, puisi Sajak
karya Hartojo Andangdjaja didudukkan sebagai sebuah wacana sastra yang
otonom. Bahasa kias puisi dipandang
sebagai unit paparan yang memiliki kesatuan fungsi bentuk, pengertian, dan
nilai-nilai estetika tertentu. Wujud konkret unit paparan bahasa tersebut
berupa relasi kata-kata sebagaimana terpapar dalam satuan-satuan larik puisi.
Keberadaan bahasa kias dalam satuan unit struktur tetentu dalam wacana puisi,
selalu terkait dengan totalitas satuan-satuan unit struktur lain yang membangun
puisi tersebut secara integral. Makna unit paparan bahasa kias selalu bersifat implied dan disajikan penyair secara
simbolis lewat citraan yang dikandung oleh pola dan jenis figurasi bahasa yang
dipakai.
Dengan
demikian, upaya pemaknaan terhadap sebuah satuan unit struktur, juga harus
mempertimbangkan satuan unit struktur lain yang hadir secara simultan dalam
puisi. Satuan-satuan unit
struktur yang hadir secara simultan itu memiliki tautan citraan dan pendaran
makna antara satu dengan lainnya. Pertalian semacam ini biasanya diindikatori
oleh (1) kehadiran fonem-fonem yang memiliki relasi secara anaforik, (2) adanya
diksi-diksi yang memiliki jaringan kolokasional, (3) adanya konotasi makna
sebagai akibat relasi semantis unsur-unsur kebahasan antar satuan unit
struktur.
Sementara
itu, sebagai satuan unit struktur formal yang dapat disegmentasikan dari satuan
unit yang lain, bahasa kias puisi dapat dipilah dan ditelaah melalui pola dan
jenis figurasi bahasa yang digunakan. Pola dan jenis figurasi bahasa dalam
suatu puisi keberadaannya sengaja dirancang oleh penyair agar paparan bahasa
yang khas itu mampu mewadahi gagasan penyair sebanyak-banyaknya. Penggunaan
bahasa seara khas seperti itu juga berfungsi memberikan partisipasi dalam usaha
penciptaan suasana imajinatif serta mampu memberi efek estetis tertentu pada
puisi.
Keberadaan Bahas Kias
Keberadaan
bahasa kias diindikatori oleh adanya (1) tautan pendaran, (2) jaringan
kolokasional, dan (3) pusat rujukan semantis. Relasi semantis terjadi
antarunsur yang ada dan dipakai secara serempak (simultan) dalam suatu puisi.
Terjadinya relasi itu, baik antarunsur yang berdistribusi dalam satuan unit
struktur yang sama maunpun tidak, dapat memunculkan citraan semantis baru unsur
itu. Citraan semantis baru sebagai akibat relasi semantis itu mengakibatkan
unsur-unsur itu tidak lagi mempertahankan konsep leksikalitasnya, melainkan
secara kreaatif melahirkan citran semantis
lain yang tidak berlaku secara umum, bahkan mungkin eksklusif karena secara
orisinal hanya ada dan diupakai dalam puisi tertentu.
Tautan
pendaran merupakan kumpulan kata yang mempunyai persamaan bunyi secara anaforik
yang lazim berupa bunyi akhir. Kata-kata yang tergabung dalam tautan pendaran tertentu
memiliki pertalian semantis secara asosiatif. Jaringan kolokasional merupakan
makna kata-kata yang secara asosiatif muncul akibat adanya pertautan semantis
secara regular meskipun masing-masing kata berada dalam distribusi yang
berbeda. Sementara, pusat rujukan merupakan konsep makna suatu unsur pembangun
unit struktur terntentu yang menjadi sentra acuan pelacakan konsep makna
unsur-unsur pembangun yang lain. Ia menjadi acuan pelacakan citraan semantis
baru, baik unsur pada unit satruktur yang sama maupun unit struktur yang berbeda.
Kelengkapan Unsur Fungsional
Meskipun
keberadaan sisten bahasa sastra bersifat sekunder, bahasa kias yang merupakan
unit paparan bahasa yang memiliki struktur formal, dalam kajiannya tak dapat
dilepaskan dari sistem primernya, yakni sistem linguistik. Dengan demikian,
unit struktur formal dikatakan lengkap apabila unit struktur itu telah memiliki
unsur fungsional secara lengkap. Kelengkapan unsur tersebut dalam satu satuan
unit sekurang-kurangnya terdapat unsur pelaku jenis lakuan dan unsur
predikatoris secara lengkap unsur-unsur fungsional itu adalah sebagai berikut.
1.
subjek:
persona – nomina topik yang melakukan jenis lakuan tertentu.
2.
predikator:
jenis lakuan yang berkaitan dengan subyek yang dibicarakan.
3.
komplemen:
obyek lakuan persona atau nomina penyerta predikator.
4.
adjunct:
keterangan yang lazim ada pada struktur hipotaktis.
5.
arbitrera:
unsur unit struktur yang bersifat manasuka.
Identifikasi Satuan Unit Struktur yang Dicurigai
Identifikasi dilakukan berdasarkan
citraan makna secara sederhana terhadap satuan-satuan unit struktur yan
diurigai sebagai bahasa kias. Terlebih dahulu, puisi tersebut dipaparkan
sebagai berikut.
SAJAK
Sajak
ialah kenangan yang tercinta (1)
mencari
jejakmu, di dunia (2)
Ia
mengelana di tanah-tanah indah (3)
lewat
bukit dan lembah (4)
dan
kadang tertegun tiba-tiba membaca (5)
jejak
kakimu di sana (6)
Semantara
di mukanya masih menunggu (7)
yojana
biru (8)
Kaki
langit yang jauh (9)
Jarak-jarak
yang harus ditempuh (10)
Ia
makin rindu (11)
dalam
do’a, dan bersimpuh, (12)
Tuhanku
......... (13)
Sajak
ialah kenangan yang tercinta (14)
mencari
jejakmu, di dunia (15)
Secara
sederhana, satuan citraan yang terkandung dalam ”Sajak” ini mengacu pada
gambaran (1) sajak merupakan kenangan tercinta selalu mencari jejak kehidupan
dunia, (2) sajak berkelana di tanah-tanah yang indah melewati bukit dan lembah,
(3) sajak kadang-kadang tertegun secara tiba-tiba bila membaca jejak kehidupan
( -mu, manusia) di dunia, (4) sementara di mukanya masih menunggu sebuah yojana
biru, kaki langit yang jauh yang mengandung gambaran jarak (perjalanan hidup)
yang harus ditempuh, dan (5) sajak makin rindu, bahkan ia berdoa dan bersimpuh
pada Tuhan.
Berdasarkan citraan
sederhana itu, satuan-satuan unit struktur yang dapat dicurigai adalah sebagai
berikut.
Sajak
ialah kenangan yang terinta (1)
mencari
jejakmu, di dunia (2)
Ia
mengelana di tanah-tanah indah (3)
lewat
bukit dan lembah (4)
dan
kadang tertegun tiba-tiba, membaca (5)
......................................................................
Sementara
di mukanya masih menunggu (7)
yojana
biru (8)
Kaki
langit yang jauh (9)
Jarak-jarak
yang harus ditempuh (10)
......................................................................
Tautan Pendaran, Jaringan Kolokasional, dan Pusat
Rujukan Semantis
Untuk mengetahui bahwa satuan-satuan unit paparan itu merupakan bahasa kias
atau bukan, perlu diadakan analisis pembuktian terhadap unsur-unsur pada
masaing-masing satuan unit, apakah unsur-unsur yang dikandung oleh
masing-masing satuan unit itu memiliki tautan pendaran makna, hubungan
kolokasional, dan satu kesatuan pusat rujuakan? Dalam telaah bahasa kias, yang
menerapkan pendekatan tekstual, tiga fenomena ini harus dimiliki oleh bentuk
bahasa kias tertentu dalam puisi. Berkaitan dengan itu, dalam puisi ”Sajak”
karya Hartodjo Andangdjaja, ditemukan fenomena sebagai berikut.
(1) Tautan Pendaran
Pada satuan unit struktur yang
dicurigai yang terdiri atas larik-larik 1,2,3,4,5,6,7,8,9, dan 10 masing-masing
memiliki unsur pertalian bunyi /a/ yaitu
pada hubungan antarkata tercinta pada larik 1, dunia
pada larik 2, mengelana pada larik 3, membaca pada larik 5, dimukanya pada larik 7, dan yojana pada larik 8. sedangkan, pada
larik-larik yang lain masih ada pertalian bunyi lagi, yaitu pada hubungan
antarkata tanah-tanah indah pada larik 3, lembah pada larik 3, jauh pada larik 9, dan ditempuh pada larik 10. Dua kelompok hubungan
antarkata ini memiliki hubungan pertautan bunyi secara anaforik, yaitu bunyi
/a/ dan /h/.
Kedua kelompok kata yang memiliki
hubungan pertautan bunyi itu merupakan unsur-unsur yang hadir secara simultan
sehingga pemaknaan terhadap satu unsur, selain harus memperhatikan pautan
semantis unsur tersebut dalam satuannya masing-masing, juga harus memperhatikan
hubungan unsur tersebut dengan unsur yang lain yang telah memiliki pertautan
bunyi secara anaforik. Misalnya, siapakah yang mengelana itu? Yang mengelana
tentu yang tercinta. Siapakah yang membaca itu? Tentu yang mengelana.
Denan demikian, yang tercinta melakukan kelana
adalah untuk membaca jejak kehidupan di dunia.
Begitu juga dengan satuan unit
struktur yang kedua, karena mempunyai pertalian bunyi secara anaforik, maka
pemaknaan atau pencarian gambaran semantis unsur yang satu tidak boleh dilepaskan
begitu saja dari unsur yang lain yang ada atau hadir secara serempak dalam
satuan unit sturktur itu.
(2) Jaringan
Kolokasional
Adanya pertalian bunyi secara anaforik pada
dua kelompok kata atau dua satuan unit struktur tersebut mengakibatkan unsur-unsur
masing-masin kelompok itu memiliki pertalian makna secara tetap meskipun
unsur-unsur itu berada pada distribusi yang berlainan. Pertalian semantis
secara tetap ini membuktikan adanya jaringan kolokasional antar diksi yang ada,
baik pada kelompok yang pertama maunpun pada kelompok kata yang kedua.
Jaringan
kolokasional pada kelompok kata yang terdapat dalam satuan unit struktu yang
pertama adalah tercinta---dunia---mengelana---membaca---di mukanya---yojana. Kelompok
kata ini dinyatakan mempunyai hubungan kolokasional karena hal yang terinta itu memiliki alternatif tempat
kegiatan, yakni dunia. Dunia memang merupakan tempat untuk mengelana. Salah satu alternatif
kegiataan dalam pengelanaannya adalah
membaca. Karena sering mengelana, sampai-sampai di mukanya tergambar sebuah tergambar sebuah yojana, sebagai lukisan liku-liku kehidupan di dunia.
Sementara
itu, kelompok kata yang kedua juga memiliki pertalian semantis secara tetap
yang terjalin dalam kata-kata tanah-tanah
indah---lembah---jauh---ditempuh. Kelompok kata ini dinyatakan mempunyai
hubungan kolokasional karena alternatif adanya tanah-tanah indah itu adalah
di lembah, atau untuk mencari tanah-tanah indah itu harus dengan
menyusuri lembah sebagai simbol
rintangan, kesulitan, kesukaran untuk mendapatkan tanah-tanah indah yang merupakan kebahagiaan dan kesenangan dalam
liku-liku kehidupan. Ia (si Sajak)
harus melintasi jarak yang jauh untuk
mendapatkan tanah-tanah indah itu.
Jarak yang jauh itu merupakan gambaran
perjalanan kehidupan yang memerlukan kesabaran dan waktu yang lama. Namun
demikian, jarak itu harus ditempuh.
Melalui
analisis semantis secara berangkai seperti di atas, dapat diambil pengertian
bahwa secara tetap masing-masing kelompok kata memiliki pertautan semantis
sebagai akibat adanya jaringan kolokasional di antara diksi-diksi yang dipakai
secara serempak dalam satuan-satuan unit struktur itu. Sederet kata yang
tergabung dalam sebuah jaringan kolokasional dalam satuan unit struktur paparan
dalam puisi, bersama-sama membangun sebuah gambaran semantis tertentu sehingga
secara konkret melahirkan penggunaan bahasa kias tertentu pula.
(3) Pusat
Rujukan
Pusat
rujukan semantis dapat dilihat dari runtun aspek semantis kata-kata yang
mempunyai tautan pendaran dan jaringan kolokasional. Pada kelompok kata yang
pertama, dapat dilihat bahwa hal yang terinta
itu mengacu pada sajak, sedankan dunia memiliki hubungan dengan dengan
yang tercinta. Aspek semantis mengelana memiliki hubungan dengan mengelana. Aspek semantis mengelana memiliki hubunan dengan membaca. Membaca memiliki hubunan denan di
mukanya. Sementara aspek semantis di
mukanya tak dapat lepas dari aspek semantis yojana. Oleh karena semua kata memiliki runtun makna dengan kata tercinta, sedangkan kata itu memiliki
hubungan dengan Sajak sebagai pusat
pembicaraan (subyek, nomina pelaku dalam suatu struktur kalimat/ungkapan), maka
dapat diartikan bahwa secara implisit keseluruhan aspek semantis kata-kata itu
mengacu pada Sajak sebagai pusat
rujukan. Predikatoris mengelana dan membaca berlaku pada subyek yang tercinta, yaitu Sajak.
Pada kelompok kata yang kedua, aspek semantis katalembah bertalian dengan aspek semantis
kata tanah-tanah indah. Tanah-tanah
indah merupakan adjunct dari unsur predikatoris unit
strukturnya. Sementara, unsur itu mengacu pada upaya penjelasan jenis lakuan
subyek Ia pada Ia mengelana di tanah-tanah indah. Jadi, aspek semantis semua unsur
dalan satuan unit struktur ini pun merujuk pada Sajak sebagai pusat rujukan. Aspek semantis jauh berkolokasi
dengan aspek semantis ditempuh. Hal
ini karena jauh dan ditempuh mempunyai tautan pendaran
dengan lembah dan tanah-tanah indah. Sementara itu, lembah dan tanah-tanah indah merujuk pada Sajak.
Dengan demikian, jauh dan ditempuh pun merujuk pada Sajak.
Keseluruhan diksi pada kelompok kata, baik yang
pertama maupun yang kedua, mengacu pada Sajak
sebagai pusat rujukan. Sajak sebagai
topik pembicaraan, pusat rujukan semantis semua unsur pada tiap-tiap satuan
unit struktur paparan, dengan sendirinya nomina non-persona ini berperan
sebagai subyek atas predikatoris mengelana
dan membaca dalam struktur
paparan puisi itu. Predikatoris mengelana dan membaca ini merupakan predikatoris yang hanya berlaku untuk
persona. Sehingga, keseluruhan makna yang dibangun mengacu pada pemenuhan
syarat terbentuknya struktur bahasa kias personifikasi. Kedua kelompok kata
yang memiliki tautan pendaran dan jaringan kolokasional itu digambarkan sebagai
berikut.
Tercinta
Dunia
Mengelana
SAJAK -------- Membaca
Di mukanya
Yojana
Tanah-tanah indah
SAJAK --------- Lembah
Jauh
Ditempuh
Relasi Semantis
Pada
masing-masing unsur tiap satuan unit struktur, baik di dalam maupun di luar
satuan sunit struktur itu, muncul konotasi makna sebagai akibat pautan
semantis. Kata mengelana, pada satuan
unit struktur yang pertama, dalam Ia
mengelana di tanah—tanah indah, telah lepas dari makna literalnya sebagai
pengaruh dari hubungannya dengan makna Ia
(Sajak). Konotasi yang muncul sebagai akibat adanya relasi semantis antarunsur
dalam satuan unit struktur itu. Begitu juga dengan kata di mukanya, dalam sementara
di mukanya masih menunggu, secara tersurat dalam larik ini dinyatakan bahwa
ada sesuatu yang menunggu, dan yang
menunggu ada di mukanya. Dengan
demikian, secara terselubung akan lahir makna baru dari di mukanya itu sebagai akibat adanya tautan semantis dari kata menunggu.
Sementara,
relasi semantis unsur-unsur antarsatuan struktur, secara eksplisit diindikatori
oleh adanya tautan pendaran, kolokasi makna, dan pusat rujukan masing-masing
unsur yang saling berhubungan karena hadir secara simultan. Makna baru suatu
unsur dalam satuan unit struktur tertentu muncul karena relasi semantis yang
terjalin secara sintagmatis antarunsur dalam satuan unit struktur yang berbeda. Misalnya, kata membaca, secara integratif maknanya sudah tidak bersifat literal. Kata
membaca dalam dan kadang tertegun tiba-tiba, membaca pada larik kelima ini, proses pencarian makna barunya harus
dilacak melalui tautan pendaran dan kolokasinya terhadap kata mengelana dalam Ia mengelana di tanah-tanah indah. Kedua kata itu dikatakan
mempunyai tautan pendaran dan jaringan kolokasional karena terdapatnya
pertalian bunyi /a/. Sementara, kata mengelana
mempunuyai rujukan Ia (Sajak). Dengan
demikian, kata membaca pun rujukannya
adalah Ia (Sajak) sehingga makna baru
kata membaca ini timbul karena adanya tautan semantisnya
dengan Ia (Sajak). Begitu pula halnya
dengan tanah-tanah indah dan lembah
dalam Ia mengelana di tanah-tanah indah, dan dalam lewat
bukit dan lembah. Makna barunya, pun timbul sebagai akibat adanya relasi kata-kata
itu dengan Ia (Sajak).
Kelengkapan Struktur Formal Gaya Bahasa
Kelengkapan
unsur fungsional unit paparan tertentu tak dapat dilepaskan dari struktur
formal unit paparan itu. Dengan demikian, berarti kembali menengok pada sistem
primer linguistik, yang mana unit paparan dinyatakan lengkap bila minimal telah
mempunyai unsur fungsional yang berupa subyek sebagai persona pelaku atau
nomina pusat pembicaraan, dan predikator sebagai abstraksi jenis lakuan
tertentu yang dilakukan subyek.
Unit
struktrur (larik) 1 dan 3 merupakan unit struktur yang lengkap, karena pada
larik 1 Sajak ialah kenangan yang
tercinta, dan pada larik 3 Ia mengelana di tanah-tanah indah,
masing-masing sudah terdapat nomina sebagai subyek dan sebagai pusat
pembicaraan (S), yaitu Sajak atau Ia, dan unsur predikatoris (P), yaitu
kata kenangan dan mengelana. Selasin itu, masing-masing
masih diperlengkap dengan adanya unsur leksikal yang bersifat hipotaktis
(Adjunct) yang berupa kata tercinta
dan frase tanah-tanah indah.
Pada unit struktur
2, 4, 5, 7, 8, 9, dan 10 merupakan unit-unit struktur yang tidak lengkap karena
unsur fungsional yang terpenting pada
unit 2, 4, 5, dan 7 dilesapkan, yaitu unsur fungsional yang berupa subyek (S)
sebagai nomina pusat pembicaraan dan pelaku jenis lakuan tetentu. Aunsur
pre3dikatoris unit-unit itu adalah
mencari, lewat, tertegun, membaca, dan menunggu.
Pada larik 2 terdapat komplemen jejakmu
dan adjunct berupa frase
preposisional di dunia. Pada larik 4,
5, dan 7 terdapat adjunct berupa bukit dan lembah, tiba-tiba, dan di mukanya.
Sementara
itu, pada larik 8 yojana biru, hanya merupakan unsur fungsional penyerta atau
tambahan, yakni komplemen. Predikator unit itu dilesapkan, begitu pula dengan
subyeknya. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam analisis relasi semantis pada
bagian sebelumnya, pusat rujukan unit-unit struktur itu adalah Ia (Sajak). Subyek ini tidak dihadirkan
secara khusus dalam larik 8. Larik 9 dan 10 dinyatakan sebagai satuan unit
struktur tidak lengkap karena unit-unit paparan itu hanya dibangun oleh unsur
subyek (S) kaki langi dan jarak-jarak yang diikuti adjunct berupa perluasan frase yang jauh dan klausan bawahan yang harus ditempuh.
Kategori Figurasi Bahasa
Untuk menetahui sebuah satuan
struktur dapat dikategorikan sebagai jenis gaya bahasa tertentu, terlebih
dahulu harus mampu mengungkap makna terselubung yang terkandung dalam satuan
struktur itu. Makna
terselubung biasanya ditentukan oleh relasi semantis unsur-unsur dalam suatu
unit struktur sedang relasi semantis antarsatuan unit struktur dapat diketahui
dengan melacak tautan pendaran, jaringan kolokasional, dan pusat rujukan
semantis unsur-unsur yang ada di dalamnya. Selanjutnya, masing-masing satuan
unit satruktur (larik) dibahas sebagai berikut.
Sajak
adalah kenangan yang tercinta.
Pada larik ini tidak perlu diadakan pelacakan
tautan pendaran, jaringan kolokasional, mapun pusat rujukan karena larik ini
merupakan larik pertama yang lenkap. Struktur larik ini merupakan bentuk gaya
bahasa metafora. Komposisi struuktur larik ini terdiri atas dua bagian yang
dikomparasikan secara lansung, yakni Sajak
dibandingkan atau dianalogikan secara langsung dengan kenangan yang tercinta. Sajak
sebagai unsur yang dibandingkan (tenor) sedangkan kenangan yang tercinta sebagai unsur yang dijadikan sebagai
pembanding (vehicle)
mencari
jejakmu, di dunia.
Pada larik ini terdapat kata dunia yang memiliki tauran pendaran dan
jaringan kolokasional dengan kata tercinta
yang ditandai dengan pertaliuan bunyi /a/. Sementara, kata tercinta merujuk pada kata Sajak. Dengan demikian, berarti satuan
unit struktur ini pun mempunyai pusat rujukan yang sama dengan unit struktur
sebelumnya, yakni Sajak. Artinya,
yang mencari jejak adalah Si Sajak. Sajak adalah unsur noninsani melakukan jenis lakuan insani. Jadi,
satuan paparan ini dapat digolongkan sebaai paparan berfigurasi personofikasi.
Ia
mengelana di tanah-tanah indah.
Pada larik ini, kata mengelana memiliki pertalian bunyi /a/ dengan kata tercinta pada larik pertama. Sesuatu
yang dimaksud dengan Ia dalam larik
ini adalah yang tercinta,, yakni Sajak pula. Subyek pelaku dalam satuan
unit struktur ini ternyata tak berbeda pula dengan unit-unit sebelumnya. Dengan
bergitu, larik ini juga tergolong paparan bermajas personifikasi.
Pertalian bunyi /h/ pada kata lembah dalam lewat bukit dan lembah,
dengan kata tanah-tanah indah dalam ia mengelana di tanah-tanah indah,
mengindikasikan bahwa larik itu pun
memiliki rujukan semantis pada kata Sajak.
Sehingga, dapat ditarik pengertian bahwa yang lewat di bukit dan lembah itu pun adalah Sajak. Dalam larik ini, Sajak
dikatakan sebagai seseorang yang melakukan kelana melintasi bukit dan lembah. Sajak yang bukan persona dapat berbuat sebagaimana
persona. Dengan demikian, larik ini pun bergaya bahasa personifikasi.
Begitu pun halnya dengan larik 5, dan
kadang tertegun tiba-tiba, membaca. Ada
pertalian bunyi secara anaforik antara kata
tiba-tiba juga membaca dengan
kata mengelana pada larik 3, yakni
dengan bunyi /a/. Sementara, lakuan mengelana,
dalam penjelasan larik sebelumnya ditegaskan bahwa lakuan itu merupakan
aktivitas subyek Sajak. Kondisi ini
juga terjadi pada larik 11, Ia
makin rindu, dan larik 12 dalam do’a, dan bersimpuh. Subyek Ia merasakan apa yang hanya dapat
dirasakan manusia, yakni rindu. Sajak juga digambarkan sebagai seorang
yang melakukan do’a dan bersimpuh di hadapan Sang Pencipta.
Citraan semantis ini hanya ada dalam paparan bermajas personifikasi. Dengan
demikian, ketiga unit paparan yang terakhir ini pun tergolong dalam kategori
paparan bermajas personiikasi.
Kesimpulan
Sesuai
dengan hasil analisis makna di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Makna bahasa kias yang terkandung
dalam puisi ”Sajak” karya Hartojo Andangdjaya dapat ditelusuri dan dipahami
melalui analisis tautan pendaran, jaringan kolokasional, dan pusat rujukan
semantis antarsatuan-satuan
unit struktur yang hadir secara simultan.
2. Relasi semantis yang terjalin secara
sintaktis maupun sintagmatis mengakibatkan munculnya citraan semantis yang baru
sehingga unsur-unsur itu lepas dari konsep leksikalitasnya.
3. Di antara beberapa unit struktur yang
merupakan wujud paparan bahasa kias dalam puisi ”Sajak” karya Hartojo
Andangdjaja, ditemukan paparan-paparan bahasa kias yang memiliki struktur
formal secara lengkap dan tidak lengkap.
4. Jenis figurasi bahasa yang dipakai adalah figurasi kiasan, yakni personifikasi dan metafora.
Daftar Rujukan
Aminuddin.
1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Malang: CV Sinar Baru dan YA3. Cet.I
---------------
1989. Gaya Bahasa dan Pengembangan Model
Pengkajiannya. JPBSI IKIP Malang
(UM)
---------------
1990. Pendekatan Tekstuan dalam Analisis
Bahasa Kias Puisi. JPBSI IKIP
Malang (UM)
Djajasudarma,
T. Fatimah. Semantik 2. Bandung: PT
Refika Aditama
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian
Sastra, Epistimologi Model Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Freeborn,
Dennis. 1996. Style, Text Analysis and
Linguistic Critism. London : MacMillan Press Ltd.
Griffith,
Kelley, Jr. 1982. Writing Essays About
Literature. New York, San Diego, Chiago, San Francisco, Atlanta, London,
Sydney, Toronto : Harcourt Brace Jovanovich Inc.
Keraf,
Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia.
Pradopo,
Rachmat Djoko.2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press
Saeed, John I. 2005. Semantics.
Malden, Oxford, Vitoria : Blackwell Publishing
Siswantoro. 2005. Apresiasi
Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT
Gramedia
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:
Erlangga
Wahab, Abdul. 1989. Pendekatan Psikolinguistik terhadap Metafora dan Implikasinya dalam
Pengajaran Sastra, dalam Analisis Wacana dan Telaah Sastra. Malang:
YA3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar