Kamis, 01 Maret 2012

PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM KEGIATAN BELAJAR-MENGAJAR


PENDEKATAN-PENDEKATAN 
DALAM KEGIATAN BELAJAR-MENGAJAR

A.  Pendahuluan
 Anthony (dalam Ramelan, 1982) mengatakan bahwa pendekatan menga-cu pada seperangkat asumsi yang saling berkaitan dengan sifat bahasa, serta penga-jaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar teoritis untuk suatu metode. Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi menganggap bahasa sebagai kebiasaan, ada pula yang menganggap bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang pada dasarnya dilisankan , dan ada lagi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah
Pendekatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia  dipandang sesuai de-ngan seperangkat asumsi yang saling berkaitan, yakni pendekatan kontekstual, pendekatan komunikatif, pendekatan terpadu, dan pendekatan proses. Menurut Aminuddin (1996) pendekatan merupakan seperangkat wawasan yang secara sistematis digunakan sebagai landasan berpikir dalam menentukan metode, stra-tegi, dan prosedur dalam mencapai target hasil tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

B. Pendekatan Kontekstual (Contextual/CTL)
Pendekatan konstektual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis dan melaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya.
Kontekstual merupakan strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, konstektual dikebangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan konstektual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Definisi yang mendasar tentang pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilannya dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memcahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

1.    Ciri-ciri pembelajaran kontekstual
The Northwest Regional Educarion Laboratory USA mengidentifi-kasikan adanya enam ciri pembelajaran kontekstual, sebagai berikut:
1)        Pembelajaran bermakna; pemahaman, dan penalaran pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran.
2)        Penerapan pengetahuan; adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tataran kehidupan da fungsi dimasa sekarang atau dimasa yang akan datang.
3)        Berfikir tingkat tinggi; siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berfikir kreatif-nya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.
4)        Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar; isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan iptek serta dunia kerja.
5)        Responsif terhadap budaya; guru harus memahami dan menghargai nilai, ke-percayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik
6)        Penilaian autentik; penggunaan berbagai strategi penalarannya yang akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.

2.    Implikasinya dalam Pembelajaran
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa didalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan itu maka pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal berikut:
1)        Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran
2)        Pengajaran autentik (authentic intruction) yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna
3)        Belajar berbasis inquiri (inquiry-based learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna
4)        Belajar berbasis proyek/tugas (project based learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar siswa didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksa-nakan tugas bermakna lainnya.
5)        Belajar berbasis kerja (work based learning) yang memerlukan suatu pen-dekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbsis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali ditempat kerja.
6)        Belajar berbasis jasa-layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa-layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa-layanan ter-sebut.
7)        Belajar kooperatif (cooperative learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa intuk bekerja sama dalam mencapai tujuan belajar.
Center Of Occupational Reseach And Development (CORD) menyampaikan lima strategi bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat REACT, yaitu:
1)        Relating ; Belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.
2)        Experiencing ; Belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention).
3)        Applying ; Belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan didalam konteks pemanfaatannya.
4)        Cooperating ; Belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama dan sebagainya.
5)        Transfering ; Belajar melalui pemanfaatan pengetahuan didalam situasi atau konteks baru.
Sementara, Nurhadi (2002:10) menyebutkan ada tujuh buah komponen penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran, yaitu: (a) konstruktivisme, (b) menemukan, (c) bertanya, (d) masyarakat belajar, (e) pemodelan, (f) refleksi, (g) penilaian yang sebenarnya.

a)     Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasil-nya diperluas melalui konteks yang terbatas, dan tidak serta merta. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswalah yang menjadi pusat kegiatan, bukan guru.

b)     Menemukan
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru ha-rus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Kata kunci dari strategi inkuiri adalah siswa menemu-kan sendiri.

c)      Bertanya
Pengetahuan yang dimiliki seseorang sering bermula dari bertanya. Berta-nya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan meng-arahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Penerapan bertanya pada aktivitas belajar di kelas, antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati dalam suatu ekspremen. Kegiatan-kegiatan itu akan menumbuhkan dorongan untuk bertanya.


d)     Masyarakat Belajar
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran dipero-leh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antara kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu, semua adalah anggota masyarakat belajar. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses ko-munikasi dua araha. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok atau lebih terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Seorang yang terlibat dalam ke-giatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicara-nya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman.

e)      Pemodelan
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model tentang bagaimana cara belajar. Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa di-tunjuk untuk memberi contoh. Siswa ‘contoh’ tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi yang harus dicapainya. Model juga dapat didatangkan dari luar.

f)       Refleksi
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Ref-leksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian dipelajari sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dengan demikian, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.

g)      Penilaian sebenarnya
Assesmen adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi-kan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru, meng-identifikasikan bahwa siswa mengalami hambatan dalam belajar, maka guru se-gera mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari hambatan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assesmen tidak dilakukan di akhir periode caturwulan atau semester pembelajaran, tetapi dilakukan bersama secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan men-dorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyara-kat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa.

C.  Pendekatan Integratif
Konsep pendekatan integratif menekankan kepada penyajian materi pem-belajaran bahasa secara terpadu yang bertolak pada satu tema tertentu. Pandangan teoritis yang melandasai pendekatan integratif adalah whole language. Whole language adalah suatu falsafah, dalam arti pandangan tentang kebenaran mengenai hakikat proses belajar dan bagaimana mendorong proses tersebut agar berlang-sung secara optimal di kelas. Dua prinsip melandasi pembel-ajaran integratif. Pertama, pembelajaran berpusat pada makna, maksudnya peng-alaman pembelajaran berbahasa baik secara lisan maupun tulisan harus bermakna dan bertujuan fungsional, dan nyata atau realistik. Kedua, pembelajaran yang ber-pusat pada siswa. Artinya dalam komponen perencanaan pengajaran harus mem-perhatikan keberadaan dan latar belakang budaya siswa (Rigg, 1991:526).
  Pendekatan terpadu berlandaskan pada prinsip-prinsip: (1) siswa aktif da-lam pembelajaran untuk mengkonstruktif, (2) bahasa digunakan untuk bermacam-macam tujuan dengan berbagai macam pola, (3) pengetahuan diorganisasikan dan dibentuk oleh pembelajar secara individu melalui interaksi sosial.

D.  Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif ada sebagai reaksi terhadap pembelajaran yang terlalu menekankan struktur sehingga mengabaikan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi (Richards and Rodgers, 1986). Syafi’ie (1994:7) menyatakan bahwa tujuan pengajaran bahasa berupaya mengembangkan komunikasi siswa, dengan demikian perhatian guru harus lebih dipusatkan kepada penggunaan bahasa untuk maksud komunikatif. Siswa dibimbing untuk dapat menggunakan bahasa bukan sekedar mengetahui tentang bahasa. Pengajaran bahasa dengan pendekatan komu-nikatif diarahkan untuk membentuk kompetensi komunikatif secara utuh bukan semata-mata membentuk kompetensi kebahasaan.
Di dalam kompetensi komunikatif terdapat beberapa unsur yang perlu di-miliki pemakai bahasa. Unsur-unsur tersebut menurut Swain (dalam Syafi’ie, 1994) sebagai berikut: (1) pengetahuan dan sistem kaidah gramatikal yang meli-puti ejaan, fonologi, morfologi, sintaksis, dan penguasaan kosa kata, (2) penguasa-an segi-segi sosiolinguistik berupa memahami kesesuaian penggunaan berbagai kosa kata dan kaidah gramatikal untuk digunakan dalam berbagai fungsi komuni-kasi seperti persuasi, narasi, eksposisi, argumentasi, deskripsi, memberi perintah dan sebagainya. Penguasaan segi sosiolingusitik juga berupa kemampuan memilih ragam bahasa yang tepat dalam berkomunikasi dengan memperhatikan topik, hu-bungan antar peran komunikasi, suasana, serta lancar komunikasi, (3) penguasaan kewacanaan berupa kemampuan menyusun gagasan-gagasan dalam bentuk turun-an yang kohesif dan koheren, dan (4) penguasaan strategi komunikasi, berupa ke-mampuan menggunakan strategi nonverbal untuk mengatasi berbagai kesenjangan yang terjadi di antara pembicara atau penulis dengan pendengar atau pembaca. Kesenjangan itu memungkinkan disebabkan oleh penguasaan bahasa yang kurang, kurangnya penguasaan konsep-konsep materi yang disampaikan, hubungan yang kurang antara pembicara atau penulis dengan pendengar atau pembaca.
Pengajaran bahasa mengarah kepada penumbuhan keterampilan menggu-nakan bahasa sebagai alat berkomunikasi, bukan semata-mata ke arah penumbuh-an pengetahuan tentang bahasa.  Orientasi belajar mengajar bahasa  berdasarkan tugas dan fungsi berkomunikasi disebut pendekatan komunikatif.

E.  Beberapa Model Pembelajaran Kooperatif
Beberapa tipe model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain Slavin (1985), Lazarowitz (1988) atau Sharan (1990) dalam Rachmadi (2006) sebagai berikut.

1. Pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini pertama kali dikembangkan oleh Aronson dkk. Langkah-langkah dalam penerapan jigsaw adalah sebagai berikut :
a.       Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 - 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah serta jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan gender. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok jigsaw (gigi gergaji).
Contoh pembentukan kelompok jigsaw sebagai berikut :
Misal suatu kelas dengan jumlah siswa 40, dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh dalam diskusi di kelompok ahli serta setiap siswa menyampaikan apa yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
b.      Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
c.       Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
d.      Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
e.       Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran
f.       Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

2. Pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number Heads Together)
Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993). Pada umumnya NHT digunakan untuk melibatkan siswa dalam penguatan pemahaman pembelajaran atau mengecek pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran.
Langkah-langkah penerapan NHT:
a.         Guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b.        Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau awal.
c.         Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor atau nama.
d.        Guru mengajukan permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok.
e.         Guru mengecek pemahaman siswa dengan menyebut salah satu nomor(nama) anggota kelompok untuk menjawab. Jawaban salah satu siswa yang ditunjuk oleh guru merupakan wakil jawaban dari kelompok.
f.         Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada akhir pembelajaran.
g.        Guru memberikan tes/kuis kepada siswa secara individual
h.        Guru memberi penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya(terkini).

3.    Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions).
Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Slavin dkk. Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD :
a.         Guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b.        Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individual sehingga akan diperoleh skor awal.
c.         Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah). Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan gender.
d.        Bahan materi yang telah dipersiapkan didiskusikan dalam kelompok untuk mencapai kompetensi dasar. Pembelajaran kooperatif tipe STAD, biasanya digunakan untuk penguatan pemahaman materi (Slavin, 1995).
e.         Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f.         Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individual.
g.        Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).

4.      Pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assited Individualization atau Team Accelarated Instruction)
Pembelajaran kooperatif tipe TAI ini dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada tipe TAI ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
Langkah-langkah pmbelajaran kooperatif tipe TAI sebagai berikut :
a.         Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru.
b.        Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal. 
c.         Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang dan rendah) Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan gender.
d.        Hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok.
e.          Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f.         Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual.
g.        Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
 
DAFTAR RUJUKAN

Ahmadi, M. 1988. Materi Dasar Pengajaran Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Aminuddin 1996. Isi dan Strategi Pengajaran Bahasa Indonesia: Pendekatan Ter-padu dan Pendekatan Proses. Malang: FPBS IKIP Malang.

Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balit-bang Depdiknas.

Dimyati, Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta.

Farris, P.J. 1993. Language Arts: A Process Approach. Madison: Brown and Benchmark.

Hamalik, O. 2003. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.

Hardjono, S. 1988. Prinsip-prinsip Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Depdik-bud

Haryadi dan Zamzami. 1996. Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud-Dikti

Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning.Thousand Oaks, California: Corwin.

Keraf, G. 1997. Komposisi. Ende Flores Nusa Tenggara Timur: Nusa Indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar