PENDEKATAN-PENDEKATAN
DALAM KEGIATAN BELAJAR-MENGAJAR
A. Pendahuluan
Anthony (dalam Ramelan, 1982)
mengatakan bahwa pendekatan menga-cu pada seperangkat asumsi yang saling
berkaitan dengan sifat bahasa, serta penga-jaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar
teoritis untuk suatu metode. Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain
asumsi menganggap bahasa sebagai kebiasaan, ada pula yang menganggap bahasa
sebagai suatu sistem komunikasi yang pada dasarnya dilisankan , dan ada lagi
yang menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah
Pendekatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dipandang sesuai de-ngan seperangkat asumsi
yang saling berkaitan, yakni pendekatan kontekstual, pendekatan komunikatif,
pendekatan terpadu, dan pendekatan proses. Menurut Aminuddin (1996) pendekatan
merupakan seperangkat wawasan yang secara sistematis digunakan sebagai landasan
berpikir dalam menentukan metode, stra-tegi, dan prosedur dalam mencapai target
hasil tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
B. Pendekatan Kontekstual (Contextual/CTL)
Pendekatan konstektual merupakan suatu
konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan
mendorong siswa membuat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk
memecahkan persoalan, berpikir kritis dan melaksanakan observasi serta menarik
kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya. Dalam konteks itu, siswa perlu
mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan
bagaimana mencapainya.
Kontekstual merupakan strategi
pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, konstektual
dikebangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna.
Pendekatan konstektual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan
tatanan yang ada.
Definisi yang mendasar tentang
pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia
nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari;
sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilannya dari konteks yang
terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai
bekal untuk memcahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
1. Ciri-ciri pembelajaran kontekstual
The
Northwest Regional Educarion Laboratory USA mengidentifi-kasikan adanya
enam ciri pembelajaran kontekstual, sebagai berikut:
1)
Pembelajaran bermakna; pemahaman, dan penalaran pribadi
sangat terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran.
2)
Penerapan pengetahuan; adalah kemampuan siswa untuk memahami
apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tataran kehidupan da fungsi dimasa
sekarang atau dimasa yang akan datang.
3)
Berfikir tingkat tinggi; siswa diwajibkan untuk
memanfaatkan berfikir kreatif-nya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu
dan pemecahan suatu masalah.
4)
Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar; isi
pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional,
perkembangan iptek serta dunia kerja.
5)
Responsif terhadap budaya; guru harus memahami dan
menghargai nilai, ke-percayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan
masyarakat tempat ia mendidik
6)
Penilaian autentik; penggunaan berbagai strategi
penalarannya yang akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.
2. Implikasinya dalam Pembelajaran
Pembelajaran kontekstual menempatkan
siswa didalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan
materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan
individual siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan itu maka pendekatan
pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal berikut:
1)
Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu pendekatan pengajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar
tentang berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran
2)
Pengajaran autentik (authentic intruction) yaitu pendekatan pengajaran yang
memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna
3)
Belajar berbasis inquiri (inquiry-based learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang
mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran
bermakna
4)
Belajar berbasis proyek/tugas (project based learning) yang membutuhkan suatu pendekatan
pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar siswa didesain agar siswa
dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman
materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksa-nakan tugas bermakna
lainnya.
5)
Belajar berbasis kerja (work based learning) yang memerlukan suatu pen-dekatan pengajaran
yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari
materi pelajaran berbsis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan
kembali ditempat kerja.
6)
Belajar berbasis jasa-layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran
yang mengkombinasikan jasa-layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis
sekolah untuk merefleksikan jasa-layanan ter-sebut.
7)
Belajar kooperatif (cooperative
learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok
kecil siswa intuk bekerja sama dalam mencapai tujuan belajar.
Center
Of Occupational Reseach And Development (CORD) menyampaikan lima strategi bagi pendidik dalam rangka
penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat REACT, yaitu:
1)
Relating ; Belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman
kehidupan nyata.
2)
Experiencing ; Belajar ditekankan kepada penggalian
(eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention).
3)
Applying ; Belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan
didalam konteks pemanfaatannya.
4)
Cooperating ; Belajar melalui konteks komunikasi
interpersonal, pemakaian bersama dan sebagainya.
5)
Transfering ; Belajar melalui pemanfaatan pengetahuan
didalam situasi atau konteks baru.
Sementara,
Nurhadi (2002:10) menyebutkan ada tujuh buah komponen penerapan pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran, yaitu: (a) konstruktivisme, (b) menemukan, (c)
bertanya, (d) masyarakat belajar, (e) pemodelan, (f) refleksi, (g) penilaian
yang sebenarnya.
a) Konstruktivisme
Konstruktivisme
merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasil-nya diperluas melalui
konteks yang terbatas, dan tidak serta merta. Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia
harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata.
Esensi dari
teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila
dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu,
pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswalah
yang menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
b)
Menemukan
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru
ha-rus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun
materi yang diajarkannya. Kata kunci dari strategi inkuiri adalah siswa
menemu-kan sendiri.
c) Bertanya
Pengetahuan yang dimiliki seseorang sering bermula dari
bertanya. Berta-nya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL.
Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya
merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri,
yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan
meng-arahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Penerapan bertanya pada aktivitas belajar di kelas,
antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru,
antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas bertanya
juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui
kesulitan, ketika mengamati dalam suatu ekspremen. Kegiatan-kegiatan itu akan
menumbuhkan dorongan untuk bertanya.
d) Masyarakat
Belajar
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran
dipero-leh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari
sharing antara teman, antara kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu,
semua adalah anggota masyarakat belajar. Masyarakat belajar bisa terjadi
apabila ada proses ko-munikasi dua araha. Dalam masyarakat belajar, dua
kelompok atau lebih terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
Seorang yang terlibat dalam ke-giatan masyarakat belajar memberi informasi yang
diperlukan oleh teman bicara-nya dan sekaligus juga meminta informasi yang
diperlukan dari teman belajarnya.
Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang memiliki
pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa
menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan
pengetahuan dan pengalaman.
e) Pemodelan
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada
model yang ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru
memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model
tentang bagaimana cara belajar. Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya
model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa
di-tunjuk untuk memberi contoh. Siswa ‘contoh’ tersebut dikatakan sebagai
model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi
yang harus dicapainya. Model juga dapat didatangkan dari luar.
f) Refleksi
Refleksi
adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa yang lalu. Siswa mengendapkan
apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang
merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Ref-leksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru
diterima.
Pengetahuan
yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas
melalui konteks pembelajaran, yang kemudian dipelajari sedikit demi sedikit.
Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dengan demikian,
siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru
dipelajarinya.
g) Penilaian
sebenarnya
Assesmen
adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi-kan gambaran
perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui
oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan
benar. Apabila data yang dikumpulkan guru, meng-identifikasikan bahwa siswa
mengalami hambatan dalam belajar, maka guru se-gera mengambil tindakan yang
tepat agar siswa terbebas dari hambatan belajar. Karena gambaran tentang
kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assesmen
tidak dilakukan di akhir periode caturwulan atau semester pembelajaran, tetapi
dilakukan bersama secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran
kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan men-dorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyara-kat. Dengan konsep itu,
hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa.
C. Pendekatan
Integratif
Konsep
pendekatan integratif menekankan kepada penyajian materi pem-belajaran bahasa
secara terpadu yang bertolak pada satu tema tertentu. Pandangan teoritis yang
melandasai pendekatan integratif adalah whole language. Whole language
adalah suatu falsafah, dalam arti pandangan tentang kebenaran mengenai hakikat
proses belajar dan bagaimana mendorong proses tersebut agar berlang-sung secara
optimal di kelas. Dua prinsip melandasi pembel-ajaran integratif. Pertama,
pembelajaran berpusat pada makna, maksudnya peng-alaman pembelajaran berbahasa
baik secara lisan maupun tulisan harus bermakna dan bertujuan fungsional, dan
nyata atau realistik. Kedua, pembelajaran yang ber-pusat pada siswa. Artinya
dalam komponen perencanaan pengajaran harus mem-perhatikan keberadaan dan latar
belakang budaya siswa (Rigg, 1991:526).
Pendekatan terpadu berlandaskan pada
prinsip-prinsip: (1) siswa aktif da-lam pembelajaran untuk mengkonstruktif, (2)
bahasa digunakan untuk bermacam-macam tujuan dengan berbagai macam pola, (3)
pengetahuan diorganisasikan dan dibentuk oleh pembelajar secara individu
melalui interaksi sosial.
D. Pendekatan
Komunikatif
Pendekatan komunikatif ada sebagai reaksi terhadap
pembelajaran yang terlalu menekankan struktur sehingga mengabaikan fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi (Richards and Rodgers, 1986). Syafi’ie (1994:7)
menyatakan bahwa tujuan pengajaran bahasa berupaya mengembangkan komunikasi
siswa, dengan demikian perhatian guru harus lebih dipusatkan kepada penggunaan
bahasa untuk maksud komunikatif. Siswa dibimbing untuk dapat menggunakan bahasa
bukan sekedar mengetahui tentang bahasa. Pengajaran bahasa dengan pendekatan
komu-nikatif diarahkan untuk membentuk kompetensi komunikatif secara utuh bukan
semata-mata membentuk kompetensi kebahasaan.
Di dalam kompetensi komunikatif terdapat beberapa unsur
yang perlu di-miliki pemakai bahasa. Unsur-unsur tersebut menurut Swain (dalam
Syafi’ie, 1994) sebagai berikut: (1) pengetahuan dan sistem kaidah gramatikal
yang meli-puti ejaan, fonologi, morfologi, sintaksis, dan penguasaan kosa kata,
(2) penguasa-an segi-segi sosiolinguistik berupa memahami kesesuaian penggunaan
berbagai kosa kata dan kaidah gramatikal untuk digunakan dalam berbagai fungsi
komuni-kasi seperti persuasi, narasi, eksposisi, argumentasi, deskripsi,
memberi perintah dan sebagainya. Penguasaan segi sosiolingusitik juga berupa
kemampuan memilih ragam bahasa yang tepat dalam berkomunikasi dengan
memperhatikan topik, hu-bungan antar peran komunikasi, suasana, serta lancar
komunikasi, (3) penguasaan kewacanaan berupa kemampuan menyusun gagasan-gagasan
dalam bentuk turun-an yang kohesif dan koheren, dan (4) penguasaan strategi
komunikasi, berupa ke-mampuan menggunakan strategi nonverbal untuk mengatasi
berbagai kesenjangan yang terjadi di antara pembicara atau penulis dengan
pendengar atau pembaca. Kesenjangan itu memungkinkan disebabkan oleh penguasaan
bahasa yang kurang, kurangnya penguasaan konsep-konsep materi yang disampaikan,
hubungan yang kurang antara pembicara atau penulis dengan pendengar atau
pembaca.
Pengajaran bahasa mengarah kepada penumbuhan
keterampilan menggu-nakan bahasa sebagai alat berkomunikasi, bukan semata-mata
ke arah penumbuh-an pengetahuan tentang bahasa.
Orientasi belajar mengajar bahasa
berdasarkan tugas dan fungsi berkomunikasi disebut pendekatan
komunikatif.
E.
Beberapa Model
Pembelajaran Kooperatif
Beberapa tipe model pembelajaran kooperatif yang
dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain Slavin (1985), Lazarowitz (1988)
atau Sharan (1990) dalam Rachmadi (2006) sebagai berikut.
1. Pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini pertama kali
dikembangkan oleh Aronson dkk. Langkah-langkah dalam penerapan jigsaw adalah
sebagai berikut :
a.
Guru membagi suatu
kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 - 6
siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan tinggi, sedang
dan rendah serta jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku
yang berbeda serta kesetaraan gender. Kelompok ini disebut kelompok asal.
Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi
pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
akan dicapai. Dalam tipe jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari
salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi
pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok
ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan
bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana
menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini
oleh Aronson disebut kelompok jigsaw (gigi gergaji).
Contoh
pembentukan kelompok jigsaw sebagai berikut :
Misal
suatu kelas dengan jumlah siswa 40, dan materi pembelajaran yang akan dicapai
sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran,
maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan
8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan
kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh dalam
diskusi di kelompok ahli serta setiap siswa menyampaikan apa yang telah
diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok
baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
b.
Setelah siswa
berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan
presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok
untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat
menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
c.
Guru memberikan kuis
untuk siswa secara individual.
d.
Guru memberikan
penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai
peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya
(terkini).
e.
Materi sebaiknya
secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran
f.
Perlu diperhatikan
bahwa jika menggunakan jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan
suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
2. Pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number
Heads Together)
Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan
oleh Spencer Kagen (1993). Pada umumnya NHT digunakan untuk melibatkan siswa
dalam penguatan pemahaman pembelajaran atau mengecek pemahaman siswa terhadap
materi pembelajaran.
Langkah-langkah
penerapan NHT:
a.
Guru menyampaikan
materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang
akan dicapai.
b.
Guru memberikan kuis
secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau awal.
c.
Guru membagi kelas
dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa, setiap anggota
kelompok diberi nomor atau nama.
d.
Guru mengajukan
permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok.
e.
Guru mengecek
pemahaman siswa dengan menyebut salah satu nomor(nama) anggota kelompok untuk
menjawab. Jawaban salah satu siswa yang ditunjuk oleh guru merupakan wakil jawaban
dari kelompok.
f.
Guru memfasilitasi
siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada akhir
pembelajaran.
g.
Guru memberikan
tes/kuis kepada siswa secara individual
h.
Guru memberi
penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai
peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis
berikutnya(terkini).
3.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions).
Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Slavin
dkk. Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD :
a.
Guru menyampaikan
materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang
akan dicapai.
b.
Guru memberikan
tes/kuis kepada setiap siswa secara individual sehingga akan diperoleh skor
awal.
c.
Guru membentuk
beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan
yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah). Jika mungkin anggota kelompok
berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan gender.
d.
Bahan materi yang
telah dipersiapkan didiskusikan dalam kelompok untuk mencapai kompetensi dasar.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD, biasanya digunakan untuk penguatan pemahaman
materi (Slavin, 1995).
e.
Guru memfasilitasi
siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada
materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f.
Guru memberikan
tes/kuis kepada setiap siswa secara individual.
g.
Guru memberi
penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar
individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
4.
Pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assited
Individualization atau Team Accelarated Instruction)
Pembelajaran kooperatif tipe TAI ini dikembangkan oleh
Slavin. Tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan
pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar
siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebih banyak
digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada tipe TAI ini adalah setiap
siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan
oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk
didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota
kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab
bersama.
Langkah-langkah pmbelajaran kooperatif tipe TAI sebagai
berikut :
a.
Guru memberikan tugas
kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah
dipersiapkan oleh guru.
b.
Guru memberikan kuis
secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal.
c.
Guru membentuk
beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan
yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang dan rendah) Jika
mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta
kesetaraan gender.
d.
Hasil belajar siswa
secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok, setiap
anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok.
e.
Guru memfasilitasi siswa dalam membuat
rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang
telah dipelajari.
f.
Guru memberikan kuis
kepada siswa secara individual.
g.
Guru memberi
penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar
individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
DAFTAR RUJUKAN
Ahmadi, M. 1988. Materi Dasar
Pengajaran Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Aminuddin 1996. Isi dan Strategi
Pengajaran Bahasa Indonesia: Pendekatan Ter-padu dan Pendekatan Proses. Malang : FPBS IKIP Malang .
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balit-bang Depdiknas.
Dimyati, Mudjiono. 2002. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta.
Farris, P.J.
1993. Language Arts: A Process Approach. Madison : Brown and Benchmark.
Hamalik, O. 2003. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.
Hardjono, S. 1988. Prinsip-prinsip
Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Depdik-bud
Haryadi dan Zamzami. 1996. Peningkatan
Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud-Dikti
Johnson, E.B. 2002. Contextual
Teaching and Learning.Thousand Oaks, California : Corwin.
Keraf, G. 1997. Komposisi. Ende Flores Nusa Tenggara Timur:
Nusa Indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar