METAFORA
SEBAGAI REFLEKSI PSIKO-KOSMOLOGI ANDREA HIRATA
DALAM
NOVEL “LASKAR PELANGI”
Oleh: Drs. AKIP EFFENDY, M.Pd.
Oleh: Drs. AKIP EFFENDY, M.Pd.
Seorang sastrawan menggunakan bahasa sebagai alat
untuk berkomunikasi secara khas dalam puisi. Mereka menyatakan sesuatu dengan
caranya sendiri, dengan gayanya sendiri. Dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa secara khas ini, Teeuw (1984:70-72) mengemukakan bahwa sastrawan
seringkali memakai bahasa yang aneh atau istimewa, yang gelap atau yang
menyimpang dari bahasa sehari-hari, yakni bahasa yang oleh masyarakat
pemakainya dianggap sebagai bahasa yang normal. Tidak jarang ditemukan beberapa
sastrawan mengungkap masalah yang sama,
tapi dengan cara berungkap yang berbeda, baik berasal dari angkatan yang sama
maupun dari angkatan yang berbeda. Mereka menyampaikan pikiran dan perasaan
yang sama dengan gaya yang berbeda.
Kebiasaan cara berungkap yang khas di antara para sastrawan seperti itu,
oleh Pradopo ( 2005:93) dikatakan akan melahirkan corak gaya bahasa yang khas
pula di antara mereka. Setiap penyair memiliki keunikan sendiri-sendiri dalam
menyampaikan pikiran dan perasaannya dengan bahasa dalam karya sastra yang
diciptakannya. Mereka memiliki corak dan gayanya sendiri. Kenyataan seperti ini
menjadikan gaya bahasa dalam karya sastra, melekat pada diri pengarangnya. Gaya
bahasa merupakan jati diri pengarangnya. Dengan mengutip pendapat Middleton
Mury, Pradopo mengatakan bahwa gaya bahasa itu merupakan keistimewaan,
kekhususan, kekhasan (idiosyncracy)
pengarang. Oleh karena itu, selama di dunia ini ada sastrawanr, selama itu pula
pembicaraan tentang gaya bahasa dalam kesusastraan merupakan pembicaraan
menarik dan tidak ada habisnya.
Gaya bahasa itu mampu memberikan daya ungkap sekaligus daya tarik pada karya
sastra melalui lambang yang dipakai dan imaji yang ditimbulkan. Sebagaimana
yang disampaikan Sumardjo dan Saini (1986:27), jika diteliti lebih jauh, ternyata daya ungkap gaya bahasa, yang
digunakan dalam puisi (juga prosa), seperti simile, metafora dan personifikasi
itu datang dari daya ungkap citra (imaji) dan lambang yang dipakai dalam gaya
bahasa-gaya bahasa itu. Citra dan lambang mampu memberi gerak dan memberi daya
hidup. Citra dan lambang mampu mewakili dan menyampaikan gagasan, perasaan,
maupun pengalaman pengarang pada pembaca. Menyadari bahwa kekuatan gaya bahasa
seperti itu, para sastrawan tidak menyia-nyiakannya. Mereka banyak menggunakan
gaya bahasa dalam karya-karya mereka.
Di antara beberapa jenis gaya bahasa kiasan yang banyak digunakan, metafora
merupakan satu jenis gaya bahasa kiasan yang memiliki fenomena tersendiri. Ia
tidak hanya dapat memperlihatkan hubunganya dengan institusi-institusi lain
yang inheren dalam karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, maupun roman,
tetapi ia juga memperlihatkan fenomena keterkaitannya dengan segala sesuatu
yang ada di luar dunia sastra. Khususnya pada fenomena yang kedua ini, Wahab
(2006:71-95) menjelaskan bahwa metafora dapat dipakai melacak hubungannya
dengan latar belakang seorang sastrawan, sistem ekologinya (lingkungan hidup),
dan sosiokultural masyarakat di mana ia tinggal. Bahkan, sosiokultural suatu
masyarakat dapat dipetakan melalui metafora yang dipakai para sastrawan
masyarakat itu dalam karyanya.
B. Ruang Persepsi Manusia
Secara
denotatif kata ruang dapat diartikan tempat atau wilayah, kata persepsi
dapat diartikan anggapan. Ruang persepsi berarti dapat diartikan wilayah, daerah, tempat, areal, anggapan manusia
terhadap kehidupan. Yang menjadi dasar pemikhran peneliti ialah adanya
keyakinan tehadap, bahwa penutur bahasa ( dalam hal ini adalah pengarang ),
mempunyai pengalaman fisik, pengalaman batin, pengalaman kultural, pengalama
pendidikan secara khusus. Artinya pengalaman- pengalaman tersebut, antara
pengarang yang satu dengan pengarang yang lain tidak sama. Pengalaman fisik,
pengalaman,batin, budaya, pendidikan, sosial, pengarang akan tercitra dalam
ungkapan- ungkapan kalimat yang dipakai pada waktu mengarang. Dengan demikian
ungkapan pengalaman yang dipakai pengarang mencerminkan kategori medan
semantik, dan medang semantik sangat erat dan berpengaruh dengan lambang
metaforis yang dipakai sebagai sarana mewakili idenya.
Untuk
menggambarkan medan semantik ruang
persepsi manusia, para ahli bahasa masih mepercayai sistematika yang
diungkapkan oleh Michael C, Haley, seperti apa yang diungkapkan Wahab (dalam
Wahab,2006:86) Haley menempatkan satu topografi yang luas tentang kategori
semantik sebagai suatu hierarki yang mencerminkan ruang persepsi manusia. Atas
dasar itulah hierarki model Haley ini dapat dipakai untuk memetakan hubungan
yang sistematis antara lambang yang dipakai dalam metafora dan makna yang
dimaksudkan.
Model hierarki yang diusulkan oleh Haley itu dilukiskan sebagai
berikut.
1. Human
2. Animate
3. Living
4. Object
5. Terrestrial
6. Substantial
7. Energi
8. Cosmic
9. Being
Sebagaimana disarankan Haley, setiap kategori harus dihayati sebagai sub-kategori yang ada
di atasnya. Ini berarti kategori HUMAN merupakan sub-kategori ANIMATE,
ANIMATE merupakan sub-kategori LIVING,
begitu seterusnya samapai pada kategori yang teratas, yaitu BEING.
Hierarkhi persepsi manusia terhadap ruang dimulai dari
tingkatan yang paling bawah, yaitu kehidupan atau tingkatan manusia itu
sendiri. Hal itu karena manusia dan
segala macam tingkah polahnya merupakan tingkatan terdekat dalam
kehidupannya.Sebagai contoh dlama metafora tersebut.
(1) Mata Bu Mus berkilauan karena air mata
yang menggenang.
(
Hirata, Laskar Pelangi 6.19 )
Kalimat di atas merupakan kalimat
metaforis dengan nomina mata Bu Mus,konsep
mata, adalah indera yang dimiliki oleh manusia, sedangkan Bu Mus adalah sebutan
atau prtedikat ataupaun julukan yang diberikan kepada seseorang. Namun
konsep-konsep tersebut terkategori dalam ruang lingkup persepsi kehidupan
manusia itu sendiri. Tingkatan ini terkategori tingkat HUMAN.Adapun satu
tingkatan di atas HUMAN adalah ANIMATE (makhluk bernyawa )
menurut Haley (dalam Wahab, 2006:77) manusia hanyalah satu bagian saja dari makhluk
bernyawa.Sebaliknya tidak semua makhluk bernyawa dapat dimasukkan ke dalam
kategori HUMAN. Hewan, misalnya, adalah makhluk bernyawa, tetapi hewan
bukanlah manusia. Perhatikan
contoh berikut.
(1)
Pikiran
ayahku melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian laut.
( Hirata, Laskar Pelangi
3.12 )
Kata melayang-layang
menunjuk pada predikasi binatang yang dapat terbang seperti burung. Burung
terkategori ke dalam persepsi makhluk bernyawa tetapi dia bukan manusia,
melainkan hewan. Dalam hal ini burung termasuk dalam ruang persepsi kategori ANIMATE.
Selanjutnya , kategori di atas ANIMATE atau makhluk bernyawa adalah
LIVING. Menurut Wahab ( dalam Wahab,2006:77) yang termasuk di sini adallah
alam tetumbuhan, sebab tetumbuhan adalah hidup. Tetapi tidak semua yang hidup
itu adalah tetumbuhan. Perhatikan contoh berikut.
(1) Laki-laki cemara angin itu berlari
pontang-panting sederas pelanduk.
(Hirata, Laskar Pelangi 96.3)
Frase cemara
angin, menunjuk pada konsep tetumbuhan, yaitu pohon cemara yang tinggi dan
meliuk-liuk saat terterpa angin. Hal ini untuk menggambarkan sekaligus sebagai
bandingan yang menjelaskan kepada kata laki-laki.
Setingkat di atas LIVING adalah OBJECT, menurut Wahab (
dalam Wahab, 2006:80) predikasi yang cocok untuk OBJECT ini ialah
sifatnya yang dapat pecah atau benda-benda padat.Perhatikan contoh berikut.
1) Mataku fiberglas. Bagai mainan bikinan Jepang
Aku bejalan sempoyongan.
(YA Nugraha, dalam Tonggak 4:200)
(2) Seruling dan gitar saling
menggertak, menghardik dan
Membentak galak.
(Hirata, Laskar Pelangi 151.16)
Fiberglas, seruling, gitar adalah OBJECT
atau benda, yang meskipun kuat, dapat saja pecah. Fiberglas, adalah benda yang
kusam, tidak transparan seperti kaca bening. Pengarang menggunakan kata ini
untuk mewakili pandangannya yang tidak bening terhadap dunia ini. Sedangkan
kata seruling, gitar adalah untuk mewakili perasaan pengarang yang ingin
mengunngkapakan suaranya, kata-katanya, yang merasa tertahan, sehingga diungkapkan
dengan pernyataan saling menggertak..
Ruang persepsi manusia yang ada setingkat di
atas OBJECT adalah TERRESTRIAL. Menurut Wahab ( Wahab, 2006:80)
yaitu hamparan yang terikat oleh bumi seperti misalnya, samodra, sungai,
gunung, padang pasir, dan lain-lain. Perhatikan contoh metafora pada
kutipan berikut.
(1)
Masuk ruang kegelapan dan gelas aku tambahkan
Mengarungi karang-karang kehidupan.
(Sapardi Djoko Damono 1987. Horison XXI/234)
Dalam metafora ini dapat tergambar
bagaimana sulitnya kehidupan itu dilambangkan bagaikan hamparan terrestrial,
yaitu karang-karang. Makna karang-karang diasosiasikan dengan kesulitan hidup, kekejaman kehidupan,
kekerasan hidup itu dapat dimengerti, sebab predikasi yang cocok untuk karangg
adalah: keras, tajam, sulit dipegang erat-erat sebab dapat melukai tangan.
(2)
Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan
ingar-bingar oleh
Suara logam yang saling beradu.
(Andrea Hirata, 2008. Laskar Pelangi/51)
Pada kalimat metaforis ini
Andrea Hirata menggambarkan terrestrial dengan menggunakan konsep jalan. Jalan
adalah sesuatu yang terhampar dan terikat oleh bumi, selain itu untuk
mengungkapkan sesuatau yang lebih yaitu panas, pengarang memakai kata
menggelegak. Pernyataan itu memunculkan asosiasi bahwa jalan itu panas sekali.
Kategori berikutnya adalah SUBSTANSIAL.
Menurut Wahab ( Wahab,2006:80) predikasi yang sesuai untuk kategori ini ialah,
di samping ada, membutuhkan ruang, dan bergerak, ia juga mempunyai sifat
lembam. Contoh metafora dengan lambang di kias yang diambil dari SUBSTASIAL
dapat dibaca pada kutipan berikut.
(1)
Sekumpulan puisi
Mencair diri
(
TM. Lubis, dalam Tonggak 4:18)
Pada kutipan di atas, puisi
dihayati sebagai benda substansi yang bisa berubah bentuk fisiknya, yaitu cair
(2) Tatapan mata kharismatik menyejukkan
sekaligus menguatkan hati.
( Hirata, dalam Laskar pelangi 210.11)
Pada kutipan di atas kata menyejukkan
dikategorikan ke dalam substansi karena sifatnya yang lembam. Kata menyejukkan
juga memberi penjelasan pada frase tatapan mata. Selanjutnya, kategori persepsi manusia di atas SUBSTANSIAL
adalah ENERGY menurut Wahab ( dalam Wahab, 2006:79) dikatakan, predikasi khusus
yang dipakai oleh kategori ini ialah bahwa ia tidak saja ada dan menempati
ruang, melainkan juga adanya perilaku gerak, seperti angin, cahaya, api. Contoh
penggunaan
dalam
metafora dapat terlihat seperti berikut.
(1)
Angin lama tak singgah.
(Slamet
Sukirnanto, 1983. horison XXI/235)
Angin
adalah bentuk sumber energi. Angin sebagai lambang kias tidak mempunyai sifat
universal. Dalam budaya manusia antara wilayah satu dengan yang lain belum
tentu memiliki kesamaan. Orang Arab dan Yahudi angin dikaitkan dengan kata ruh,
yang berarti nafas. Bagi budaya Indonesia
angin memmiliki kesan positif, angin dikaitkan dengan pembawa pesan.Sehiungga
angin memiliki kesan konotasi positif, sebab angin berfungsi sebagai pengantar
sari kepada putik dalam proses pembuahan. Dengan demikian, metafora seperti tertulis pada data di atas, berarti pembawa
pesan tak singgah.
(2)
Suara Pak Harfan bergemuruh.
(Hirata, Laskar Pelangi 222.23)
Bergemuruh,
adalah suara petir yang biasanya
didahului dengan adanya kilatan api yang mennyambar, sedangkan api sebagai
lambang metafora mempunyai makna yang universal. Menurut Cirlot (1962:105)
dalam budaya Mesir, Cina dan Yunani, juga bagi budaya Indonesia, api dikaitkan
dengan konsep kehidupan, kesehatan, kekuasaan dan tenaga spiritual. Dalam metafora seperti yang terdapat pada kutipan
di atas, makna yang yang dimaksudkan tidak jauh
dari konsep universal dalam beberapa kebudayaan yang disebut di atas.
Hierarkhi
setingkat di atas ENERGY adalah COSMOS. Menurut Wahab ( dalam
Wahab, 2006:78) tidak hanya ada, melainkan menempati ruang di jagat raya, dapat
diamati oleh indra mata, dan di sana
karena jauhnya. Nomina yang terkategori COSMOS seperti matahari, bumi, bulan,
bintang, dan benda-benda angkasa yang lain
Contoh
mmetafora yang lambang kiasnya mengambil dari kategori COSMOS ini dapat
dibaca pada kutipan berikut.
(1) Matilah kau bulan
Telah mampus bumi,
Mentari pun kewalahan.
(T.Mulia
Lubis, dalam Tonggak 4:16)
Bulan, bumi, dan matahari adalah benda-benda cosmos. Dalam kutipan
di atas, benda-benda itu tidak dipakai
dalam arti yang sebenarnya. Simbulisme tentang bulan sangat bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya yanng lain. Ada yang
mengasosiasikan bulan dengan perempuan, karena antara perempuan dan bulan
ada persamaan, yaitu masing-masing sangat terikat oleh siklus. Namun
demikian, dik Indonesia bulan
diasosiasikan dengan keindahan. Di lain pihak, bumi,menurut Cirlot
(1962:93) dihubungkan dengan tempat tumbuhnya kebudayaan atau kebudayaan itu sendiri. Semenntara itu, matahari
karena sifatnya universal, mmelambangkan semangat atau sumber
kehidupan.Dengan demikian, benda-benda angkasa di atas dipakai oleh pengarang
untuk menyatakan pandangan yang pesimis, yaitu tiadanya keindahan ( dengan
lambang bulan), tak berdayanya kebudayaan ( dengan lambang bumi),
dan hilangnya semangat hidup( dengan lambang matahari).
(3) Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra.
. (
Hirata, Laskar Pelangi 431.16)
Bintang adalah benda angkasa yang terkategori ke dalam
cosmos, keberadaannya diasosiasikan sebagai pembawa cahaya terang, sekaligus
diasosiasikan sebafai penerang bagi orang yang sedang kegelapan, bintang juga
dipakai sebagai pedoman. Dalam budaya Indonesia, utamanya masyarakat Jawa
percaya bahwa bintang merupakan petunjuk sekaligus pertanda, kapan
seseorang melakukan kegiatan, seperti menanam padi, mencari ikan, bahkan
bintang dipakai sebagai pedoman atau tanda- tanda dari sebuah
jaman. Dalam metafora di atas bintang diasosiasikan sebagai
pedoman, atau sesuatu yang diyakini kebenarannya.
Hierarkhi yang paling atas dalam ruang
persepsi manusia adalah BEING atau KE-ADA-AN. Menurut Wahab
(dalam Wahab, 2006:77) adalah untuk mewakili semua konsep abstrak yang tidak
dapat dihayati dengan indra manusia.Yang terkategori semantik BEING itu
mencakup semua konsep atau pengalaman manusia yang abstrak. Ciri khas kategori ini ialah predikasinya ada, walaupun tak dapat dihayati
langsung oleh indra manusia, seperti pada konsep kebenaran, cinta, kasih,
kegelapan, kebahagiaan dan masih banyak konsep ke-ada-an yang lain. Perhatikan contoh berikut.
(!) Senja pun
tiba
suatu kurun yang tak perlu kuanya.
(Bambang Darto, dalam Tonggak 4:33)
Senja adalah konsep abstrak untuk menandai tenggelamnya matahari, tetapi
konsep itu ada.Dalam kalimat metaforis ini, senja adealah kias untuk konsep
usia lanjut manusia. Konsep senja yang dipakai sebagai lambang kias
untuk konsep usia lanjut merupakan wujud interaksi antara manusia dengan BEING.
(2) Hidup adalah jembatan
papan lurus yang harus diteliti.
& (Hirata, Laskar Pelangi 68.26)
Hidup merupakan konsep absrak pula, tetapi hidup itu ada dan diyakini
keberadaannya walaupun konsep hidup itu tidak kasat mata. Dalam kailimat
metaforis ini, konsep hidup ad`lah gambaran keberadaan manusia di dunia.
Lebih lanjut kata hidup diikuti dengan frase jembatan papan lurus,
hal ini dapat diasosiasikan bahwa, di dalam menjalani keberadaannya, manusia harus melewati atau menjalani
keberaannya yang mau tidak mau harus mereka alami, sesuai dengan kodrat yang
diciptakan Tuhan. Pernyataan kata hidup merupakan gambaran ruang
persepsi kehiudupan manusia yang berada pada tingkat BEING.
Demikian hierarkhi persepsi manusia terhadap ruang
kehidupan, yang dimulai dari kehidupan manusia itu
sendiri, karena manusia dengan segala macam tingkah lakunya merupakan lingkungan
paling dekat. Selanjutnya hierarkhi itu berurutan ke jenjang ruang persepsi
yang semakin tinggi tingkatannya. Yaitu diawali dengan human, animate,
living, object, terrestrial, substansial, energy, cosmos, dan being.
DAFTAR PUSTAKA
Fowler, Roger. 1977. Linguistics and The Novel. London : methuen and Co. Ltd.
Hudson, William Henry. 1965. An Introduction to the Study of Literature. London : George G. Harrap & Co, Ltd.
Leech, Geaffrey and Michael Short. 1984. Style in Fiction. London : Long Man.
Luxemburg. 1984 Pengantar
Ilmu sastra. ( Terjemahkan Dick Hartoko) Jakarta : Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 1993. “ Stile dan Statiska”, Diksi, No. 1, Th. I, hlm.1-9.
Pradopo, Rachmad Djoko. 1999. Pengkajian Puisi. Yogyakarta :
Gajah Mada.
Rokhman, Muh. Arif.2003. Sastra Interdisipliner. Yogyakarta
: Qalam.
Sumarjo, Jacob. 1986. Apresiasi Kesustraan. Jakarta
: Gramedia.
Teeuw, A. 2003. Sastera
dan Ilmu Sastera.Jakarta : Gramedia.
Wahab, Abdul. 1991. Isu
Linguistik. Surabaya : Airlangga University
Press.
---------. 1998. Butir-butir
Lingustik. Surabaya : Airlangga University
Press.
Waluyo, herman J. 1987. Teori Dan Apresiasi Puisi. Jakarta
: Erlangga
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1956. Theory of Literature. New York : A Harvest Book.
.
Artikel yang menarik, untuk lebih mendialogkan penggunaan teori Haley, kita bisa saling berbagi, dan mungkin tulisan saya ini salah satunya sebagai pengantar https://jokokusmanto.blogspot.co.id/2017/08/kekeliruan-kekeliruan-dalam-memahami.html
BalasHapus2019 ford fusion energi titanium - titanium-arts.com
BalasHapus2019 ford fusion titanium engine block energi titanium ·. This is 바카라 사이트 a complete 3D video of the project. titanium undertaker ·. The 3D content and animation used for used ford edge titanium this project is titanium quartz crystal