Kamis, 01 Maret 2012

MENGENAL CERPEN


MENGENAL CERITA PENDEK
(CERPEN)

A.  Cerpen Sebuah Fenomena Sastra
            Prosa fiksi pada dasarnya terbagi menjadi tiga genre, yakni novel atau roman, cerita pendek, dan novelet (novel pendek) (Sumardjo, 1988:29). Ketiga genre tersebut sebenar-nya memiliki unsur-unsur fiksi yang sama, hanya takaran unsur-unsurnya berbeda dengan maksud yang berbeda pula. Suatu cerita yang tidak dibangun oleh unsur-unsur fiksi seperti biografi dan otobiografi tentulah tidak dikatagorikan sebagai suatu prosa fiksi.
            Fenomena serupa tentang otobiografi, biografi, reportase, laporan perjalanan, dan catatan sejarah dikatagorikan sebagai karya sastra atau bukan disampaikan oleh Maman S. Mahayana (1997: 24-25). Dikemukakannya bahwa karya seni umumnya, apapun jenisnya, semua bersumber pada fakta. Begitu pula dengan karya tulis, bahwa semua karya tulis itu adalah fakta yang diungkap kembali lewat bahasa tulis. Catatan harian juga merupakan fakta tentang kehidupan sehari-hari. Fakta itu dapat berupa peristiwa khusus atau peristiwa yang dianggap penting yang dialami seorang individu. Pencatatannya dilakukan mungkin karena peristiwa itu mempunyai makna tertentu atau mungkin juga karena berpengaruh bagi individu yang bersangkutan dalam kehidupan selanjutnya. Itulah sebabnya peristiwa itu perlu dicatat sebagai peringatan atau kenang-kenangan.
            Dalam kenyataan banyak ditemukan, peristiwa dalam kehidupan sehari-hari tidak selalu berupa peristiwa penting sehingga pada saat tertentu menungkinkan individu itu tidak merasa perlu menuliskannya ke dalam catatan harian. Di samping itu, semua yang ditulis dalam catatan harian sesungguhnya sekadar peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi pada saat yang tertentu pula.. Maka dari itu, catatan harian tidak berwujud sebagai rangkaian peristiwa yang satu dengan lainnya saling berkaitan secara padu. Ia sekadar cuplikan-cuplikan peristiwa yang cuma bermakna bagi individu yang bersangkutan, sedangkan bagi orang lain, peristiwa itu hanya bermakna sebagai sebuah informasi tentang peristiwa tertentu.
            Begitu pula dengan karya sastra yang pada hakikatnya merupakan sebuah ‘catatan’. Hanya yang dicatat bisa peristiwa yang pernah, belum, atau akan terjadi. Itu sebabnya, Mahayana beranggapan bahwa karya sastra merupakan rekaan, rekaman, atau ramalan tentang kehidupan ini. Peristiwa yang diungkapkan sastrawan bisa merupakan peristiwa yang dialaminya sendiri, dialami orang lain, atau mungkin yang sebenarnya sama sekali belum dialami siapapun juga. Dalam hal ini, pengalaman yang diungkapkan seorang sastrawan dapat berupa pengalaman langsung atau pengalaman tidak langsung.
            Yang membedakan karya sastra dengan catatan harian adalah; Pertama, peristiwa yang diungkap sastrawan atau pengarang bukanlah sekadar peristiwa, melainkan hakikat peristiwa itu sendiri. Karena sastrawan atau pengarang penyampaikan peristiwa itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain, maka hakikat pengungkapan kembali pengalamannya adalah apakah itu bermakna untuk orang lain dan bermanfaat untuk manusia dan kemanusiaan atau tidak.
            Kedua, karena sastrawan bermaksud hendak mengungkapkan makna sebuah peristiwa, maka peristiwa itu merupakan sebuah hasil penghayatan, pendalaman, pemaknaan, penafsiran, dan penilaian atas peristiwa itu sama sekali tidak penting atau sepele yang setiap saat dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Namun,  itu telah menjadi suatu peristiwa yang khas dan menakjubkan.
            Ketiga, Pesan yang disampaikannya berkaitan dengan berbagai aspek kemanusiaan, moral, hati nurani, dan emosi, serta etika. Dalam hal itu, karya sastra menampakkan fungsi sosialnya. Ia menyampaikan pendidikan moral kemanusiaannya di balik peristiwa yang disajikan.
            Keempat, imajinasi seseorang tidak terikat oleh ruang dan waktu sehingga memungkinkan dunia yang ditampilkan sastrawan adalah dunia “antah berantah”. Mungkin pula peristiwa yang ditampilkannya itu hanya berupa pikiran dan perasaan belaka.

B. Apakah Cerpen Itu?
Nurgiyantoro (1995:9) menyebutkan bahwa cerpen termasuk ke dalam cerita fiksi (fiction). Menurutnya, cerpen yang dalam bahasa Inggris disebut short story adalah cerita yang lebih pendek daripada novelette (novelet). Walaupun pendek, panjang cerpen bervariasi. Cerpen yang pendek (short short story) berkisar 500-an kata, cerpen yang panjang cukupan (middle short story), dan cerpen yang panjang (long short story). Sesuai dengan namanya, cerpen adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, ukuran panjang pendeknya tidak ada aturannya, tidak ada satu kesepakatan antara para pengarang dan para ahli. Lebih lanjut, Nurgiyantoro menyambung lidah Edgar Allan Poe—seorang sastrawan kenamaan Amerika— yang dikutip Jassin (1961:72) bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai di-baca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Cerpen memiliki ke-unity-an karena dalam bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang ”kurang penting” yang lebih bersifat memperpanjang cerita. Walaupun singkat, cerpen memiliki kelebihan yang khas, yaitu kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak dari sekadar apa yang diceritakan. Kelebihan lain `dalah dalam hal membaca. Membaca cerpen tidak menuntut pembaca memahami masalah yang kompleks dalam bentuk dan waktu yang sedikit.      
Sementara itu, cerita pendek atau yang lebih populer dengan akronim cerpen, Thahar (1999:1) mendefinisikan sebagai salah satu jenis fiksi yang paling banyak ditulis orang. Dengan alasan hampir setiap media massa yang terbit di Indonesia menyajikan cerpen setiap minggu. Majalah-majalah hampir selalu memuat satu atau dua cerpen yang seolah-olah tanpa memuat cerpen, isi majalah itu tidak lengkap. Bahkan, pemancar-pemancar radio siaran juga mempunyai rubrik cerpen yang diasuh secara berkala.
            Wijosutedjo dan Supriatun mendefinisikan bahwa cerpen (short story) adalah kisahan pendek, kurang dari 10.000 kata, yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan pemusatan diri pada satu tokoh dalam satu situasi atau pada suatu ketika, cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira setengah hingga dua jam.
            Jadi, cerita pendek (cerpen) dapat dikatakan sebagai suatu cerita yang mengisahkan salah satu atau sebagian dari kehidupan manusia dengan kriteria: (1) selesai dibaca dalam sekali duduk, sekitar antara setengah sampai dengan dua jam, (2) kurang dari 10.000 kata, (3) memberikan kesan tunggal pada satu tokoh, (4) memiliki alur tunggal dan berjenis alur rapat atau erat sehingga tokoh utama tidak sampai mengalami perubahan nasib. Karena lingkup cerita yang sangat terbatas pada sebagian dari aspek kehidupan seseorang, maka cerita pendek tidak dapat dikonklusikan, apakah denouement atau catastroph.

C.   Jenis-jenis/Ciri-ciri Cerpen
            Ciri hakiki cerita pendek menurut Sumardjo dan Saini K.M. adalah tujuan untuk memberikan gambaran yang tajam dan jelas, dalam bentuk yang tunggal, utuh, dan mencapai efek tunggal pula pada pembacanya. Dengan demikian, kisah atau cerita seseorang yang tidak menimbulkan efek tunggal bagi pembacanya bukanlah sebagai cerpen.

D.  Unsur Pembangun Cerpen
            Untuk bisa masuk ke dalam cerpen sebagai karya sastra, kita mencoba melewati rumah sebagai sebuah bangunan atau gedung. Cerpen tak ubahnya sebagai rumah atau gedung itu. Sebagai perbandingan bahwa rumah atau gedung yang baik di dalamnya tentu ada kamar-kamar atau bagian-bagian rumah seperti kamar tidur utama, kamar tidur anak, kamar makan, kamar mandi, kamar tamu, ruanf kerja, ruang belajar, ruang keluarga, dan lain-lain. Selain itu, rumah itu dibuat dengan konstruk yang kuat dan berkualitas. Berbagai pertimbangan dan skala perimbangan dilakukan misalnya perbandingan campuran semen, pasir dan air, atau semen, kapur, air, dan pasir, bagaimana model bangunannya, bagaimana fentilasi dan pencahayaannya, pengecorannya, dan sebagainya. Bagian-bagian yang disebutkan di atas disebut unsur pembangun rumah. Unsur-unsur tersebut dikatagorikan sebagai unsur dalam atau intrinsik dalam cerpen, sedangkan pelaku pembangunan itu dikatagorikan sebagai unsur ekstrinsik. Siapa tukangnya, bagaimana kapabilitas tukang itu, dan mengapa tukang tersebut beserta pembantu pembangun dengan model itu, serta siapa pemilik bangunan tersebut. Begitu pula dengan cerpen. Cerpen dibangun dengan dua unsur yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
            Unsur intrinsik cerpen meliputi tema dan amanat, penokohan dan perwatakan, latar penceritaan, plot atau alur, gaya bahasa, dan sudut pandang (point of view). Untuk unsur yang terakhir ini Rahmanto (1997:2.4) menyebutnya dengan istilah pusat pengisahan. Selain itu, unsur ekstrinsik cerpen meliputi tingkat pendidikan pengarang, situasi dan kondisi daerah atau negara yang melingkupi pengarang ketika sedang mengarang, ekonomi, sosial, dan budaya pengarang, latar belakang kehidupan dan profesi pengarang, aktivitas pengarang dalam lingkungan sekitar pengarang, keterlibatan pengarang dalam berbagai organisasi, dan lain-lain.
            Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi (1995) Nurgiyantoro menyebutkan unsur-unsur pembangun sebuah novel (termasuk cerpen) secara berurutan adalah (1) plot, (2) tema, (3) penokohan, dan (4) latar. Unsur-unsur tersebut secara umum dianggapnya bersifat lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen. Selain unsur-unsur di atas ia menambahkan pula unsur kepaduan (unity) sebagai syarat agar cerpen dianggap sebagai sebuah karya sastra yang baik. Kepaduan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang diceritakan bersifat dan berfungsi mendukung tema utama. Penampilan berbagai peristiwa yang saling menyusul dan membentuk plot walaupun tidak kronologis tetapi harus tetap saling berkait secara logis. Pada bagian lain Nurgiyantoro memaparkan unsur-unsur intrinsik yang lain secara lebih detil. Unsur-unsur tersebut adalah (5) penyudutpandangan, dan (6) bahasa.
Ada sedikit perbedaan dengan unsur-unsur intrinsik yang disebutkan di atas. Nurgiyantoro dalam buku Sastra Anak (2005) menyebutkan unsur intrinsik cerita fiksi meliputi (1) tokoh dan penokohan, (2) alur, (3) latar, (4) tema, (5) moral, (6) sudut pandang, (7) stile dan nada, dan (8) judul.
Unsur tokoh yang ditempatkan pada urutan pertama diklasifikasikan berdasarkan sudut pandang tertentu. Pertama, berdasarkan realitas sejarah, tokoh dibedakan ke dalam tokoh rekaan dan tokoh sejarah. Kedua, berdasarkan wujud-nya, dapat dibedakan ke dalam tokoh manusia, binatang, atau objek lain. Ketiga, berdasarkan kompleksitas karakter dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh bulat. Keempat, berdasarkan peran yang dibawakan dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. 
            Selanjutnya, Fananie dalam Telaah Sastra (2002) berpendapat bahwa struktur formal adalah struktur yang terefleksi dalam satuan teks. Oleh karena itu, struktur formal karya sastra dapat disebut sebagai elemen atau unsur-unsur pembentuk karya sastra. Elemen tersebut lazim disebut disebut sebagai unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
            Dalam unsur intrinsik Fananie menyebutkan urutannya sebagai berikut: (1) tema, (2) penokohan, (3) plot, dan (4) setting. Dalam telaah struktur formal pada genre prosa fiksi, Fananie tidak memaparkan secara detil unsur-unsur intrinsik yang lain. Menurutnya, sebuah karya sastra baru bisa disebut bernilai apabila masing-masing unsur pembentuknya (unsur intrinsiknya) yang tecermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot, setting, dan bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh. Kesatuan yang mencerminkan satu harmonisasi sebagaimana yang dituntut dalam kriteria estetik.
Selain yang tersebut di atas, Zulfahnur Z. F. (2007) menyatakan bahwa unsur intinsik merupakan unsur yang secara faktual akan dijumpai ketika membaca prosa fiksi. Unsur-unsur tersebut secara bersama-sama membentuk kepaduan cerita. Unsur intrinsik yang ditawarkannya adalah (1) tema dan amanat, (2) alur, (3) tokoh, (4) latar, (5) sudut pandang, dan (6) bahasa.
Rahmanto dan Hariyanto juga urun rembug dengan mengemukakan unsur-unsur intrinsik cerpen secara berurutan, yaitu (1)alur, (2)tokoh dan penokohan, (3) latar, (4) pusat pengisahan, (5) gaya (bahasa), dan (6) tema.






DAFTAR RUJUKAN


Darma, Budi. 1984. Solilokui: Kumpulan Esai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Icksan, H.M.A. 2007. Peran Sastra Sebagai Media Pembelajaran Estetika, Etika, dan Moral (Sebuah Pendekatan Metodis-Fenomenologis). Diktat Bahan Mata Kuliah Sastra dan Pembelajarannya. Malang: Universitas Islam Malang.

Mahayana, Maman S. 1997. Catatan Harian dan Karya Sastra. Dalam “Kaki Langit”. Horison. XXXII/7/1997.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.

Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan dalam Tanya Jawab.  Flores, NTT: Nusa Indah.

Shipley, Joseph T. 1962. Dictionary of Word Literary. Paterson, N. J.: Liftefield, Adam & Co.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

Stanton, Robert. 1965. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Thahar, Harris Effendi. 1999. Kiat Menulis Cerita Pendek. Bandung: Penerbit Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar