MENGENAL CERITA PENDEK
(CERPEN)
A. Cerpen Sebuah Fenomena Sastra
Prosa fiksi pada
dasarnya terbagi menjadi tiga genre, yakni novel atau roman, cerita pendek, dan
novelet (novel pendek) (Sumardjo, 1988:29). Ketiga genre tersebut sebenar-nya memiliki unsur-unsur fiksi yang sama, hanya takaran unsur-unsurnya
berbeda dengan maksud yang berbeda pula. Suatu cerita yang tidak dibangun oleh
unsur-unsur fiksi seperti biografi dan otobiografi tentulah tidak dikatagorikan
sebagai suatu prosa fiksi.
Fenomena serupa tentang otobiografi,
biografi, reportase, laporan perjalanan, dan catatan sejarah dikatagorikan
sebagai karya sastra atau bukan disampaikan oleh Maman S. Mahayana (1997:
24-25). Dikemukakannya bahwa karya seni umumnya, apapun jenisnya, semua bersumber
pada fakta. Begitu pula dengan karya tulis, bahwa semua karya tulis itu adalah
fakta yang diungkap kembali lewat bahasa tulis. Catatan harian juga merupakan
fakta tentang kehidupan sehari-hari. Fakta itu dapat berupa peristiwa khusus
atau peristiwa yang dianggap penting yang dialami seorang individu.
Pencatatannya dilakukan mungkin karena peristiwa itu mempunyai makna tertentu
atau mungkin juga karena berpengaruh bagi individu yang bersangkutan dalam
kehidupan selanjutnya. Itulah sebabnya peristiwa itu perlu dicatat sebagai
peringatan atau kenang-kenangan.
Dalam kenyataan banyak ditemukan,
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari tidak selalu berupa peristiwa penting
sehingga pada saat tertentu menungkinkan individu itu tidak merasa perlu
menuliskannya ke dalam catatan harian. Di samping itu, semua yang ditulis dalam
catatan harian sesungguhnya sekadar peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi
pada saat yang tertentu pula.. Maka dari itu, catatan harian tidak berwujud
sebagai rangkaian peristiwa yang satu dengan lainnya saling berkaitan secara
padu. Ia sekadar cuplikan-cuplikan peristiwa yang cuma bermakna bagi individu yang bersangkutan, sedangkan bagi orang lain,
peristiwa itu hanya bermakna sebagai sebuah informasi tentang peristiwa
tertentu.
Begitu pula dengan karya sastra yang
pada hakikatnya merupakan sebuah ‘catatan’. Hanya yang dicatat bisa peristiwa
yang pernah, belum, atau akan terjadi. Itu sebabnya, Mahayana beranggapan bahwa
karya sastra merupakan rekaan, rekaman, atau ramalan tentang kehidupan ini.
Peristiwa yang diungkapkan sastrawan bisa merupakan peristiwa yang dialaminya
sendiri, dialami orang lain, atau mungkin yang sebenarnya sama sekali belum
dialami siapapun juga. Dalam hal ini, pengalaman yang diungkapkan seorang
sastrawan dapat berupa pengalaman langsung atau pengalaman tidak langsung.
Yang membedakan karya sastra dengan
catatan harian adalah; Pertama,
peristiwa yang diungkap sastrawan atau pengarang bukanlah sekadar peristiwa,
melainkan hakikat peristiwa itu sendiri. Karena sastrawan atau pengarang
penyampaikan peristiwa itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang
lain, maka hakikat pengungkapan kembali pengalamannya adalah apakah itu
bermakna untuk orang lain dan bermanfaat untuk manusia dan kemanusiaan atau
tidak.
Kedua,
karena sastrawan bermaksud hendak mengungkapkan makna sebuah peristiwa, maka
peristiwa itu merupakan sebuah hasil penghayatan, pendalaman, pemaknaan,
penafsiran, dan penilaian atas peristiwa itu sama sekali tidak penting atau
sepele yang setiap saat dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Namun, itu telah menjadi suatu peristiwa yang khas
dan menakjubkan.
Ketiga,
Pesan yang disampaikannya berkaitan dengan berbagai aspek kemanusiaan, moral,
hati nurani, dan emosi, serta etika. Dalam hal itu, karya sastra menampakkan
fungsi sosialnya. Ia menyampaikan pendidikan moral kemanusiaannya di balik
peristiwa yang disajikan.
Keempat,
imajinasi seseorang tidak terikat oleh ruang dan waktu sehingga memungkinkan
dunia yang ditampilkan sastrawan adalah dunia “antah berantah”. Mungkin pula
peristiwa yang ditampilkannya itu hanya berupa pikiran dan perasaan belaka.
B. Apakah Cerpen Itu?
Nurgiyantoro (1995:9) menyebutkan bahwa cerpen termasuk ke dalam cerita
fiksi (fiction). Menurutnya, cerpen
yang dalam bahasa Inggris disebut short
story adalah cerita yang lebih pendek daripada novelette (novelet). Walaupun pendek, panjang cerpen bervariasi.
Cerpen yang pendek (short short story)
berkisar 500-an kata, cerpen yang panjang cukupan (middle short story), dan cerpen yang panjang (long short story). Sesuai dengan namanya, cerpen adalah cerita yang
pendek. Akan tetapi, ukuran panjang pendeknya tidak ada aturannya, tidak ada
satu kesepakatan antara para pengarang dan para ahli. Lebih lanjut,
Nurgiyantoro menyambung lidah Edgar Allan Poe—seorang sastrawan kenamaan
Amerika— yang dikutip Jassin (1961:72) bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang
selesai di-baca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai
dua jam. Cerpen memiliki ke-unity-an
karena dalam bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba
ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang ”kurang penting” yang lebih
bersifat memperpanjang cerita. Walaupun singkat, cerpen memiliki kelebihan yang
khas, yaitu kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak dari sekadar apa yang
diceritakan. Kelebihan lain `dalah dalam hal membaca. Membaca cerpen tidak
menuntut pembaca memahami masalah yang kompleks dalam bentuk dan waktu yang
sedikit.
Sementara itu, cerita pendek atau yang lebih populer dengan akronim cerpen,
Thahar (1999:1) mendefinisikan sebagai salah satu jenis fiksi yang paling
banyak ditulis orang. Dengan alasan hampir setiap media massa yang terbit di
Indonesia menyajikan cerpen setiap minggu. Majalah-majalah hampir selalu memuat
satu atau dua cerpen yang seolah-olah tanpa memuat cerpen, isi majalah itu
tidak lengkap. Bahkan, pemancar-pemancar radio siaran juga mempunyai rubrik
cerpen yang diasuh secara berkala.
Wijosutedjo dan Supriatun mendefinisikan
bahwa cerpen (short story) adalah
kisahan pendek, kurang dari 10.000 kata, yang memberikan kesan tunggal yang
dominan dan pemusatan diri pada satu tokoh dalam satu situasi atau pada suatu
ketika, cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira setengah
hingga dua jam.
Jadi, cerita pendek (cerpen) dapat dikatakan
sebagai suatu cerita yang mengisahkan salah satu atau sebagian dari kehidupan
manusia dengan kriteria: (1) selesai dibaca dalam sekali duduk, sekitar antara
setengah sampai dengan dua jam, (2) kurang dari 10.000 kata, (3) memberikan
kesan tunggal pada satu tokoh, (4) memiliki alur tunggal dan berjenis alur
rapat atau erat sehingga tokoh utama tidak sampai mengalami perubahan nasib.
Karena lingkup cerita yang sangat terbatas pada sebagian dari aspek kehidupan
seseorang, maka cerita pendek tidak dapat dikonklusikan, apakah denouement atau catastroph.
C.
Jenis-jenis/Ciri-ciri Cerpen
Ciri hakiki cerita pendek menurut
Sumardjo dan Saini K.M. adalah tujuan untuk memberikan gambaran yang tajam dan
jelas, dalam bentuk yang tunggal, utuh, dan mencapai efek tunggal pula pada
pembacanya. Dengan demikian, kisah atau cerita seseorang yang tidak menimbulkan
efek tunggal bagi pembacanya bukanlah sebagai cerpen.
D.
Unsur Pembangun Cerpen
Untuk bisa masuk ke dalam cerpen
sebagai karya sastra, kita mencoba melewati rumah sebagai sebuah bangunan atau
gedung. Cerpen tak ubahnya sebagai rumah atau gedung itu. Sebagai perbandingan bahwa
rumah atau gedung yang baik di dalamnya tentu ada kamar-kamar atau
bagian-bagian rumah seperti kamar tidur utama, kamar tidur anak, kamar makan,
kamar mandi, kamar tamu, ruanf kerja, ruang belajar, ruang keluarga, dan
lain-lain. Selain itu, rumah itu dibuat dengan konstruk yang kuat dan
berkualitas. Berbagai pertimbangan dan skala perimbangan dilakukan misalnya
perbandingan campuran semen, pasir dan air, atau semen, kapur, air, dan pasir,
bagaimana model bangunannya, bagaimana fentilasi dan pencahayaannya, pengecorannya,
dan sebagainya. Bagian-bagian yang disebutkan di atas disebut unsur pembangun
rumah. Unsur-unsur tersebut dikatagorikan sebagai unsur dalam atau intrinsik
dalam cerpen, sedangkan pelaku pembangunan itu dikatagorikan sebagai unsur
ekstrinsik. Siapa tukangnya, bagaimana kapabilitas tukang itu, dan mengapa
tukang tersebut beserta pembantu pembangun dengan model itu, serta siapa
pemilik bangunan tersebut. Begitu pula dengan cerpen. Cerpen dibangun dengan
dua unsur yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik cerpen meliputi tema
dan amanat, penokohan dan perwatakan, latar penceritaan, plot atau alur, gaya
bahasa, dan sudut pandang (point of view).
Untuk unsur yang terakhir ini Rahmanto (1997:2.4) menyebutnya dengan istilah
pusat pengisahan. Selain itu, unsur ekstrinsik cerpen meliputi tingkat pendidikan
pengarang, situasi dan kondisi daerah atau negara yang melingkupi pengarang
ketika sedang mengarang, ekonomi, sosial, dan budaya pengarang, latar belakang
kehidupan dan profesi pengarang, aktivitas pengarang dalam lingkungan sekitar
pengarang, keterlibatan pengarang dalam berbagai organisasi, dan lain-lain.
Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi
(1995) Nurgiyantoro menyebutkan unsur-unsur pembangun sebuah novel (termasuk
cerpen) secara berurutan adalah (1) plot, (2) tema, (3) penokohan, dan (4) latar.
Unsur-unsur tersebut secara umum dianggapnya bersifat lebih rinci dan kompleks
daripada unsur-unsur cerpen. Selain unsur-unsur di atas ia menambahkan pula unsur kepaduan (unity) sebagai syarat agar cerpen dianggap sebagai sebuah karya
sastra yang baik. Kepaduan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang diceritakan
bersifat dan berfungsi mendukung tema utama. Penampilan berbagai peristiwa yang
saling menyusul dan membentuk plot walaupun tidak kronologis tetapi harus tetap
saling berkait secara logis. Pada bagian lain Nurgiyantoro memaparkan
unsur-unsur intrinsik yang lain secara lebih detil. Unsur-unsur tersebut adalah
(5) penyudutpandangan, dan (6) bahasa.
Ada sedikit perbedaan dengan unsur-unsur intrinsik yang disebutkan di atas.
Nurgiyantoro dalam buku Sastra Anak
(2005) menyebutkan unsur intrinsik cerita fiksi meliputi (1) tokoh dan
penokohan, (2) alur, (3) latar, (4) tema, (5) moral, (6) sudut pandang, (7)
stile dan nada, dan (8) judul.
Unsur tokoh yang ditempatkan pada urutan pertama diklasifikasikan berdasarkan
sudut pandang tertentu. Pertama,
berdasarkan realitas sejarah, tokoh
dibedakan ke dalam tokoh rekaan dan tokoh
sejarah. Kedua, berdasarkan wujud-nya, dapat dibedakan ke dalam
tokoh manusia, binatang, atau objek
lain. Ketiga, berdasarkan kompleksitas karakter dibedakan ke
dalam tokoh sederhana dan tokoh bulat. Keempat, berdasarkan peran
yang dibawakan dibedakan ke dalam tokoh
protagonis dan tokoh antagonis.
Selanjutnya, Fananie dalam Telaah
Sastra (2002) berpendapat bahwa struktur formal adalah struktur yang terefleksi
dalam satuan teks. Oleh karena itu, struktur formal karya sastra dapat disebut
sebagai elemen atau unsur-unsur pembentuk karya sastra. Elemen tersebut lazim
disebut disebut sebagai unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Dalam unsur intrinsik Fananie
menyebutkan urutannya sebagai berikut: (1) tema, (2) penokohan, (3) plot, dan
(4) setting. Dalam telaah struktur
formal pada genre prosa fiksi, Fananie tidak memaparkan secara detil
unsur-unsur intrinsik yang lain. Menurutnya, sebuah karya sastra baru bisa
disebut bernilai apabila masing-masing unsur pembentuknya (unsur intrinsiknya)
yang tecermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot, setting, dan bahasa merupakan satu
kesatuan yang utuh. Kesatuan
yang mencerminkan satu harmonisasi sebagaimana yang dituntut dalam kriteria
estetik.
Selain yang tersebut di atas, Zulfahnur Z. F. (2007) menyatakan bahwa unsur
intinsik merupakan unsur yang secara faktual akan dijumpai ketika membaca prosa
fiksi. Unsur-unsur tersebut secara bersama-sama membentuk kepaduan cerita.
Unsur intrinsik yang ditawarkannya adalah (1) tema dan amanat, (2) alur, (3)
tokoh, (4) latar, (5) sudut pandang, dan (6) bahasa.
Rahmanto dan Hariyanto juga urun rembug dengan mengemukakan unsur-unsur
intrinsik cerpen secara berurutan, yaitu (1)alur, (2)tokoh dan penokohan, (3)
latar, (4) pusat pengisahan, (5) gaya (bahasa), dan (6) tema.
DAFTAR RUJUKAN
Darma, Budi. 1984. Solilokui: Kumpulan Esai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Icksan, H.M.A. 2007. Peran Sastra Sebagai Media Pembelajaran Estetika, Etika, dan Moral
(Sebuah Pendekatan Metodis-Fenomenologis). Diktat Bahan Mata Kuliah Sastra dan
Pembelajarannya. Malang: Universitas Islam Malang.
Mahayana, Maman S. 1997. Catatan Harian dan Karya Sastra. Dalam “Kaki Langit”. Horison.
XXXII/7/1997.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadja Mada
University Press.
Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan dalam Tanya Jawab. Flores, NTT: Nusa Indah.
Shipley, Joseph T. 1962. Dictionary of Word Literary. Paterson, N. J.: Liftefield, Adam
& Co.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Stanton, Robert. 1965. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Thahar, Harris Effendi. 1999. Kiat Menulis Cerita Pendek. Bandung: Penerbit Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar